(Diskusi Secangkir Kopi Panas : Bagian ke-4)
Oleh ; Adi Karyanto & Eva Latifah.
Kecap No. 1 Dari Redaksi :
Carmad, 45 tahun masih ingat jalan Parunglesang di kota kelahirannya, Banjar 9 tahun lalu kondisi jalan di daerah itu tidak bagus, begitu juga kondisi pemukiman penduduknya tak elok bila dibilang bagus kondisi terangnya. Cuma remang-remang keadaan tentu saja sepi. Tidak banyak orang lalu-lalang pada malam hari. Pemerintah Kota Banjar telah merubah, keadaan yang sepi jadi ramai mulus jalannya dan terang benderang cahaya lampu. Sekarang jalan Parunglesang sudah ramai mirip di sebuah kota seperti di Tasikmalaya, bukan?, kata Endang Jangkung, 34 tahun urang Banjar, yang bekerja di Tasikmalaya.
Sebenarnya Banjar sudah berumur ratusan tahun. Merujuk dari sejarahnya, waktu berada di lingkungan wilayah Sukapura. Tak jelas riwayatnya, masuk ke wilayah Kabupaten Ciamis dan 9 tahun lalu Banjar menjadi kota, tepatnya 21 Februari 2003. Dulu Banjar terkenal dengan sebutan kota tak pernah tidur. Sebelum ayam berkokok pedagang dari berbagai daerah datang ke Banjar untuk bertransaksi jual beli di pasar Banjar. Pada umumnya orang-orang akan bertransaksi jual beli itu, datang ke pasar Banjar dengan membawa obor beriringan dari berbagai pelosok daerah sekitarnya.
Bahkan sayur mayur yang datang dari daerah Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Garut menggunakan truk, masuk ke Banjar antara pukul 02, begitu juga ikan asin, terasi dan ikan laut datangnya tengah malam. Bongkar muat terjadi malam hari sampai menjelang pagi, beras pun datang malam hari dari Kroya dan sekitarnya masuk ke Banjar lewat jalur kereta api. Di Jalan Buntu yang berdekatan dengan stasiun kereta api, berjejer gudang-gudang beras dan losmen-losmen tempat pelepas lelah orang-orang yang kecapaian setelah bertransaksi jual dan beli.
Pasar, stasiun KA dan terminal bus letaknya berdekatan, jembatan viaduc tempat mejeng yang strategis waktu itu sambil melihat kereta api berhenti dan lewat Banjar. Selain itu dua bioskop dan 2 sandiwara sebagai sarana hiburan yang tak pernah sepi dari pengunjung kebanyakan orang dari luar daerah. Sekarang punya pasar tradisional dengan bangunan moderen, punya waterpark, toko-toko modern, dengan fasilitas infrastruktur jalan yang mulus.
Diskusi Secangkir Kopi Panas, telah memasuki babak ke-4. Diskusi informal yang diselenggarakan HR peserta kali tidak bertambah alias tetap 7 orang. H. Agus Nugraha, S.Sos. M.Si., Asno Sutarno, SP.MP., H. Basir, SP.MP., Ery K Wardana, ST., Rahmat Barkah, SE., Dede Tito Ismanto, ST.MT., Wawan Setiawan, SH.M.Si., Subakti Hamara Pemimpin Redaksi HR dan staf redaksi, makin melebar membuka mencari pemikiran dan ide-ide baru meskipun hanya mimpi/dreaming, untuk mengembalikan Banjar menjadi kota tak pernah tidur. Pimpinan Umum HR masih bertugas sebagai moderator. Pembicaraan dalam diskusi semakin panas seperti panasnya sop iga sapi yang gurih, ketela goreng crispi panas pedas saos cabe, dihantam pisang goreng madu, menyeruput kopi cappucino hangat, ditambah es juis buah dingin. Panas dingin terjadi dalam perut. Otak peserta diskus kembali stabil. Ikuti ceritanya semua tentang Banjar. Waktu semalam bung aku bermimpi ketemu ular bung besar sekali, aku menjerit aduuuh. Mimpi lagi ajaa, gitu aja kok repot.
***
Fungsi utama otonomi daerah adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat dari semua strata, baik kalangan bawah, menengah, maupun atas. Harapan tersebut diwujudkan dengan dukungan regulasi yang ada, dan mewujudkannya dalam bentuk pemerintahan yang baru, baik kota maupun kabupaten, dengan dukungan suprastruktur yang dilimpahkan dari pusat ke daerah. Hal itu lah yang mendukung dimulainya langkah-langkah suatu tatanan pemerintahan.
Sedangkan, tujuan atau visi bagi suatu pemerintahan adalah, sejauh mana pemerintahan dapat mengelola potensi, sumber daya, serta kondisi strategi wilayah/daerah, dengan konsep yang terencana, mencapai sasaran, dan terintegrasi dengan wilayah-wilayah lain di sekeklilingnya.
Kita perhatikan bersama, Pemerintah Kota Banjar secara usia telah mencapai 9 tahun. Tentu usianya masih sangat muda untuk suatu pemerintahan. Tetapi dalam mengintegrasikan berbagai kepentingan telah dilaksanakan, terutama pada pembangunan dasar yang diperlukan warga kota, yaitu mengacu pada pembangunan pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat sebagai pemacu IPM.
Pembangunan tersebut tentu didukung oleh berbagai infrastruktur yang diperlukan, diantaranya penataan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, puskesmas, pasar, perbankan, penyediaan jaringan listrik dimulai dari tingkat desa/kelurahan, sampai tingkat kota, dan infrastruktur pemerintahan, baik pemerintah daerah maupun sektoral.
Dengan pembangunan yang mendasar tadi tiada lain tujuannya supaya peranan tata kelola pemerintahan berjalan baik, dan berperannya masing-masing pemangku kebijakan yang ada.
Perjalanan 9 tahun ini tidak semulus yang diharapkan. Problematika selalu ada dan menjadi hambatan dalam percepatan tujuan, sehingga untuk menjadikan tingkat kesejahteraan masyarakat lebih meningkat lagi dirasakan lamban. Yang jadi pertanyaan, kenapa hal tersebut menjadi hambatan, padahal kita semua mempunyai cita-cita tujuan yang sama, dimana bila secara akademi bisa dikaji, dan secara kenyakinan mestinya dapat bersama-sama mengentaskan problem tadi.
Problematika tersebut menyangkut masih rendahnya Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). Faktor-faktor penyebabnya adalah, pertama, daya saing daerah di sekitar kewilayahan sangat kompetitif pada situasi dan kondisi informatika yang semakin mendekatkan pada tatanan kehidupan masyarakat.
Dan kedua, sikap perilaku publik yang kecenderungan tidak berperan aktif dalam menangkap peluang dan mengembangkan inovatif, kreativitas, serta reformasi birokrasi dominan kecenderungan hanya pada tatanan regulasi yang kurang dipahami oleh para abdi negara sebagai abdi masyarakat itu sendiri. Serta masih timbulnya intrest kepentingan hanya pada tatanan pribadi atau golongan saja.
Dari problema tadi, maka kita harus jadi faktor kunci demi kepentingan tujuan yang ingin dicapai, yakni tiada lain adalah, pertama, perlu perubahan sikap dan prilaku dari publik itu sendiri, dimulai dari birokrat abdi negara sebagai abdi masyarakat.
Kedua, peran serta sektor swasta yang mampu berentrepreneur, dapat membaca peluang yang ada. Ketiga, prilaku dan pemikiran masyarakat harus sejalan pada tatanan konsep, tujuan dan mengutamakan kebersamaan.
Keempat, semua pemangku kepentingan harus punya sipil aktiv, kreative dan inovative dalam berbagai tatanan kemasyarakatan yang menyangkut semua kepentingan publik itu sendiri.
Kelima, diciptakannya rasa aman, nyaman dan saling menghormati pendapat, serta gagasan untuk saling mengkritisi sebagai upaya pengawasan, atau kontrol dari semua lapisan masyarakat yang ada.
Keenam, ciptakan daya pacu untuk bersaing dalam menarik investasi ke Kota Banjar, dalam upaya-upaya penyerapan tenaga angkatan kerja yang semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Dari perjalanan 9 tahun ini tentu masih ada yang harus kita persiapkan bersama agar Banjar kedepan menjadi kota yang memiliki dinamika tinggi, kreativitas warga kota yang merasa sayang terhadap kotanya sendiri, serta meningkatnya daya beli masyarakat dan daya saing daerah pada kewilayahan. Juga masyarakatnya merasa memiliki aset-aset yang telah terbangun, dan memelihara serta menjaga secara bersama-sama sebagai wujud dari warga Kota Banjar.
Selain itu, birokrasi dan abdi negara sebagai abdi masyarakat tidak hanya sebatas melaksanakan tugas, tetapi menjadikan tugas sebagai ladang untuk membuat kesan dan keindahan yang lebih bermanfaat bagi publik. ***