Banjar, (harapanrakyat.com),- Banjar Inspiratif Mandiri (BIMa) sebagai Lembaga Pengkajian Tata Kelola Transfaransi Pembangunan Daerah, menilai, apa yang disikapi Komisi C DPRD Kota Banjar, dalam hal ini yang membidangi pembangunan intens turba, dengan statement-statementnya di media massa saat melakukan peninjauan beberapa proyek yang sedang dilaksanakan Pemkot Banjar, dianggap membingungkan masyarakat.
Hal itu dikatakan Ketua BIMa Kota Banjar, Iwan Syarifudin, Sabtu (14/1). Menurutnya, statement dari Komisi C di media massa seolah-olah fungsi legislasi itu seperti pengawas/mandor. Padahal, berdasarkan Pasal 343 Ayat 1 huruf b dan c, UU RI No. 27 Tahun 2009, Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, menyatakan bahwa DPRD Kab/Kota mempunyai fungsi Pengawasan.
“Dari referensi tersebut, DPRD Kota Banjar melaksanakan fungsi pengawasan itu seyogyanya dimulai sejak awal perencanaan. Maka pada saat itu timbul pertanyaan, apakah proyek itu menyangkut kepentingan masyarakat banyak, adakah kemaslahatanya, kemudian, memenuhi rasa keadilankah, apakah bisa meningkatkan taraf hidup orang banyak, atau bisa menumbuh kembangkan ekonomi bagi masyarakat banyak,” tutur Iwan.
Dengan tidak mengabaikan segi efisien dan efektif tepat guna, semua itu harus dikawal oleh DPRD Kota Banjar. Sedangkan sisi pelaksanaanya diatur berdasarkan UU No. 18 Tahun 1999 dan Kepres 54 Tahun 2010 tentang Jasa Konstruksi.
Pihaknya juga mempertanyakan, dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, apakah sudah dievaluasi, kemudian secara prosedural yang sebenarnya atau tidak. Walaupun pada akhirnya harus turun ke lapangan, bukan berarti menyoroti kekurangan dan kelebihan dari segi teknis. Karena, kegiatan tersebut memiliki aturan main tersendiri.
Dengan pemeriksaan yang dilakukan internal dan fungsional oleh Inspektorat Daerah dan BPK melalui audit, itu merupakan amanat Undang-Undang. Contohnya, seperti pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan Pasar Banjar, yang menghabiskan dana puluhan miliar dari APBD, sebaiknya anggota DPRD Kota Banjar mengecek terlebih dahulu kepada konsultan pengawas, mengenai apa yang terjadi di lapangan.
“Alangkah baiknya Anggota DPRD menganalisa faktor pendukung terhadap kegiatan tersebut. Misalnya, bagaiman akses menuju pasar supaya tidak macet, tempat bongkar muat barang, bagaimana drainasenya, lalu antsipasi tehadap bahaya kebakaran. Kemudian, segi kenyamanan pedagang dan konsumen, serta untuk perawatan gedung pasar tersebut siapa nanti yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Lebih lanjut Iwan mengatakan, belum dari sisi yang diamanatkan Permendagri No. 17 Tahun 2007 Pasal 32, 33 dan 34, tentang bentuk pemanfaatan dan retriibusi. Serta, Perda Kota Banjar yang mengatur besaran sewa dan retribusi tanah, berikut bangunan aset milik Pemkot Banjar.
Semua itu harus ada singkronisasi agar tidak menimbulkan polemik dikemudian hari, bagi pedagang tidak merasa keberatan, dan pemerintah daerah pun diuntungkan. Hal ini harus ada solusi dari kedua belah pihak, sehingga tidak merasa saling dirugikan.
Jadi, dalam hal ini BIMa menyikapi bahwa semua yang berkepentingan harus bisa memposisikan perannya masing-masing, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena, semuanya mempunyai aturan masing masing.
Kalau misalkan pada akhirnya ada penyimpangan dalam kegiatan proyek yang dilaksanakan pemerintah daerah, DPRD Kota Banjar harus mempunyai management quality control.
Setelah ada audit dari Inspektorat Daerah, BPK, maupun BPKP, barulah dewan bisa memperankan Pasal 350 huruf c UU RI No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD menyampaikan usul dan pendapat dengan melalui berbagai tahapan.
Selanjutnya, apabila ada yang berkaitan dengan masalah pelanggaran hukum, harus menunggu setelah ada hasil audit BPK, baru kemudian ditindak lanjuti oleh penegak hukum. “Biarlah pemerintah daerah sebagai pengguna barang dan jasa konstruksi mengerjakan dengan penuh ketenangan, dan rakyat bisa menikmati hasil-hasil pembangunan dengan penuh rasa keadilan,” pungkas Iwan. (Eva)