Banjar, (harapanrakyat.com),- Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Banjar, bekerjasama dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Banjar, akhirnya menggelar launching perdana batik khas Kota Banjar, yang dilaksanakan di Aula Setda Kota Banjar, Selasa (10/1).
Rencana sebelumnya, peluncuran perdana batik khas Kota Banjar digelar pada saat peringatan hari jadi Kota Banjar ke-8, yaitu 21 Februari 2011 lalu. Namun, akibat terkendala biaya dan beberapa hal yang belum maksimal, maka kegiatan tersebut belum bisa dilaksanakan saat itu.
Dalam sambutannya, Ketua Dekranasda Kota Banjar, Hj. Ade Uu Sukaesih, S.IP., memaparkan selayang pandang mengenai motif batik khas Kota Banjar, kepada para tamu undangan, diantaranya Ketua Dekranasda Jawa Barat, Sendy Yusuf, para pengurus Yayasan Batik Jawa Barat, Walikota dan Wakil Walikota Banjar, Ketua DPRD Kota Banjar, para Kepala OPD se-Kota Banjar, serta tamu undangan lainnya.
Ade menjelaskan, bahwa motif yang ditetapkan pada batik khas Kota Banjar yaitu rambatan daun tarum dan ebeg. Motif tersebut merupakan hasil seleksi pada lomba desain batik khas Kota Banjar yang diselenggarakan oleh Dekranasda tahun 2010 lalu.
Dari 25 peserta yang mengikuti lomba, hanya 6 orang saja yang lolos seleksi. Rata-rata mereka menggambar motif daun tarum, tapi ada pula peserta yang menggambar motif ebeg. Maka, kedua motif itu akhirnya dipilih sebagai corak batik khas Banjar.
“Batik yang bercorak daun tarum dan ebeg ternyata di Jawa Barat belum ada, dan berdasarkan hasil penilaian juri dalam lomba desain batik Kota Banjar, yang mana jurinya melibatkan dari Yayasan Batik Jawa Barat, bahwa daun tarum dan ebeg memang sesuai dengan sejarah Banjar,” terangnya.
Lanjut dia, dulu, pohon tarum yang tumbuh di Banjar, tepatnya di pinggir Sungai Citanduy, itu berbeda dengan tumbuhan tarum yang ada di daerah lain. Kalau di Banjar, jenis tanaman tarum tumbuh merambat dan bagian bunganya berukuran kecil.
Sedangkan ebeg, itu merupakan perpaduan antara budaya Sunda dan Jawa, dimana wilayah Kota Banjar berada di ujung Timur perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, sehingga masyarakatnya terdiri dari dua kultur.
Untuk itu, kesenian tradisonal ebeg dapat dijumpai hampir di semua wilayah Kota Banjar. Bahkan, dalam setiap acara peringatan ulang tahun Kota Banjar, kesenian tersebut selalu ditampilkan.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dekranasda Jawa Barat, Sendy Yusuf, mengatakan, pihaknya menyambut baik atas kesuksesan Kota Banjar yang kini telah memiliki motif batik khas daerahnya, berikut para pengrajin dan pengusaha yang telah mengembangkan produksi batik khas Banjar.
Sendy juga mengatakan, untuk lebih mengembangan kreasi motif batik khas Kota Banjar, Yayasan Batik Jawa Barat siap membantu apabila diperlukan. Karena kedepannya, motif yang telah ada harus bisa lebih dikembangkan/dikreasikan lagi. Namun, tetap tidak menghilangkan kekhasan coraknya.
“Motif batik bercorak rambatan daun tarum dan ebeg bukan saja menjadi ciri khas Kota Banjar, tapi juga telah menambah keaneka ragaman corak batik di Jawa Barat, karena corak tersebut memang tidak dimiliki oleh daerah lain,” katanya.
Sendy menambahkan, pengusaha lokal harus peduli terhadap pengembangan batik khas daerahnya sendiri. Selain itu, para pengrajin batik pun harus terus dibina agar potensi ekonomi rakyat tumbuh dan sejalan dengan target nasional.
Agar batik tersebut dapat dikenal masyarakat luas, baik di Kota Banjar sendiri maupun di luar daerah, upaya pengembangan jangan hanya dilakukan pemerintah saja, tapi juga perlu dukungan dari pihak swasta.
Di tempat terpisah, pengusaha batik sekaligus pemilik Butik Yola, Hj. Lalak Siti Malak, yang telah lama berkecimpung menggeluti bisnis batik, saat ditemui HR sehari sebelum pelaksanaan launching, Senin (9/1), mengatakan, sebagai seorang pengusaha batik, sudah seharusnya peduli terhadap pengembangan produksi batik khas daerahnya sendiri.
Selain itu, dirinya ingin memberdayakan kaum perempuan, khususnya ibu rumah tangga di lingkungannya, supaya memiliki kreatifitas yang dapat membuahkan hasil. Sehingga mereka tidak selalu bergantung pada penghasilan suami.
Meski harus merogoh koceknya sendiri untuk biaya pelatihan membatik bagi ibu-ibu muda, serta modal pembelian kain dan peralatannya, namun semua itu tidak menjadi soal asalkan batik khas Banjar dapat berkembang, minimalnya di lingkup Kota Banjar.
“Sebagai seorang pengusaha, saya hanya berupaya untuk mengembangkannya, mulai menyiapkan pengrajinnya sampai peralatan produksi maupun pemasarannya, itu saja,” kata Lalak. (Eva)