Putusan bersalah yang dijatuhkan kepada rakyat kecil seperti kepada bocah AAL, kerena dituduh mencuri sandal jepit milik seorang anggota polisi semakin menunjukan hukum hanya keras terhadap orang lemah. Hukum tak berdaya pada orang yang dekat dengan kekuasaan. Rasa keadilan hampir mati.
Kita mencatat, matinya keadilan bagi rakyat kecil, Oktober 2009 Aminah (35) kasus pencurian 3 butir kakao seharga Rp. 2.100,- di Darmakradenan Ajibarang, Kabupaten Banyumas Jateng. Aminah divonis 1 bulan 15 hari di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Manisih (39), Sri Suratmi (19), Juwono (16), Rusnoto (14). Kasus pencurian satu karung plastik buah randu senilai Rp.12,000,- di Balen Jatim. Divonis 4 bulan di PN Bojonegoro.
Oktober 2010 lalu, Supriyadi (40), kasus pencurian dua batang singkong dan satu batang bambu di Pasuruan Jatim. Divonis 1 bulan 20 hari kurungan di PN Bangil. Juli 2011 Amirah pekerja rumah tangga yang dituduh mencuri sarung bekas seharga Rp.3000,- di Pamakasan Jatim di penjara 3 bulan 24 hari. Terbaru AAL (15) kasus pencurian sandal jepit di Palu Sulawesi tengah, dinyatakan bersalah dan dikembalikan kepada orang tuanya di PN Palu.
Kasus hukum sejumlah elite seperti Artalita Suryani, Juli 2008 menyuap jaksa dalam kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang melibatkan pemilik bank BDNI. 5 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Jakarta bebas setelah menjalani hukuman 2/3 masa hukuman.
Wali Kota Bekasi Mochtar Muhamad, Oktober 2011 suap anggota DPRD Rp.1,6 milyar penyalahgunaan uang makan-minum Rp.639 juta, suap piala Adipura 2010 Rp.500 juta dan suap BPK Rp.400 juta. Divonis bebas PN Tipikor Bandung. Andi Achmad Sampurna Jaya mantan Bupati Lampung Tengah, korupsi APBD senilai Rp. 28 miliar. Divonis bebas PN Tanjung Karang, Oktober 2011.
14 anggota DPRD Kutai Kartanegara, korupsi dana kegiatan DPRD Kukar tahun 2005 sebesar Rp. 2,6 miliar. Divonis bebas PN Samarinda. Oei Sindhu Stefanus Direktur Utama PT Karunia Prima Sejati, korupsi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Online Kabupaten Cilacap sebesar Rp.16,7 miliar. Divonis bebas Pengadilan Tipikor Semarang.
Kita berharap LSM bisa menjadi organisasi alternatif, untuk melakukan pengawasan dan kontrol sosial di negeri ini, agar korupsi bisa diatasi. Hukum pun bisa melaksanakan keadilan jangan timpang seperti sekarang ini. Meskipun jumlahnya tidak jelas, mungkin jumlahnya ribuan atau puluhan ribu. Mereka ada dimana-mana, di desa-desa yang kumuh dan miskin, juga di kota-kota besar. Termasuk di kantor-kantor ber-AC. Yang jelas, mereka sebagian besar orang muda. Punya kepedulian yang sama, keprihatinan terhadap masa depan bangsa, negara dan bumi ini.
Kepedulian itulah yang membuat mereka membentuk, atau bergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), sebuah nama yang belakangan ini makin sering bergema disini. Memang, banyak di antara mereka yang hanya âberhura-huraâ. Namun kehadiran âkelompok hura-huraâ atau pura-pura (mereka hanya memanfaatkan dana luar negeri dan menjual kemiskinan di Indonesia bunyi sebuah tuduhan). Yang lebih parah banyak kelompok yang mengaku LSM, oknum-oknum ini hanya pekerjaannya menakut-nakuti yang ujung-ujung memeras untuk kepentingan kelompok atau pribadi, LSM yang macam itu yang merusak citra LSM.
Ini tidak mengurangi arti penting LSM, yang merupakan fenomena baru yang perlu diamati di negeri ini. Mereka prihatin terhadap masalah seperti kemiskinan, ledakan jumlah penduduk, penekanan hak asasi, dan perusakan lingkungan.
Kini hampir 20 tahun berlalu (dua dekade) kemudian, kehadiran LSM kian diperhitungkan. Banyak kasus penuntasan korupsi lahir atas jerih payah lembaga ini. Tak sedikit pejabat publik bolak-balik masuk pengadilan dan merasakan dinginnya sel penjara. Setelah kisah korupsinya terbongkar. Lembaga-lembaga ini tak kenal menyerah meski tekanan datang silih berganti. Di pundak anak-anak muda inilah sebagian harapan ditumpukan.