Usianya sudah lanjut, badannya tidak setegap tentara, dan segesit atlet, Herman (70), warga Ling. Sukarame Kel. Mekarsari kec. Banjar, masih tetap bersemangat mengumpulkan rupiah.
Herman adalah penjual lengko dengan cara ditanggung berkeliling Kota Banjar, mulai dari rumah dan berakhir di Stasiun Banjar. Jualan lengko diakui Herman sudah dilakoninya sejak tahun tahun 1970.
Beruntung, Herman masih diberi kesehatan dan kekuatan untuk mengabdi sebagai suami bagi istrinya dan menjadi ayah untuk 4 orang anaknya. Dia masih diberi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Meski dengan usia Herman yang sudah mencapai kepala tujuh, seharusnya dia duduk nyaman di rumah, beristirahat dan menikmati masa-masa tuanya. Tapi keadaan ekonomi lagi-lagi menjadi alasan, kenapa dia masih harus tetap menanggung pikulan.
Sedikit-demi sedikit kisah usahanya, Herman ceritakan kepada HR, sekitar 30-an tahun yang lalu, dia mencoba mengadu nasib dengan berjualan lengko. Sejak itu pula, dia bertahan dan tidak mengganti usaha lengko-nya hingga kini.
Menurut cerita Herman, dirinya setiap hari mengeluarkan modal kerja, untuk jualan lengko, mulai membeli daging sapi, beras untuk ketupat, dan bumbu dapur. Diperkirakan modal perhari mencapai Rp. 70 ribu. Sementara satu porsi lengko dipatok harga olehnya sebesar Rp. 5 ribu.
Namanya juga usaha, ada kalanya untung, ada kalanya juga merugi. Tidak seperti berjualan baju/ pakaian, jualan lengko bisa basi dalam satu harinya. Sehingga, jika tidak habis, lengko yang seharusnya terjual dibawa kembali pulang ke rumah.
Herman mengaku berjulan mulai pagi hari, sekitar pukul 6 pagi hingga pukul 17 sore. Dia berkeliling mulai wilayah Sukarame, Cikabuyutan, Pasar Banjar, Hegarsari, Lembur Balong dan rute terakhir di Stasion Banjar.
Pengalaman selama 30 tahun usaha, membuahkan banyak cerita manis dan pahit bagi Herman. Bahkan, belum lama ini, dia sempat ditipu oleh konsumen, yang kabur dan tidak membayar lengko yang sudah dimakannya.
“Kejadiannya di Stasiun Banjar. Mungkin akibat lapar dan tidak punya uang, seorang konsumen datang, dan memesan seperti konsumen lainnya. Giliran akan membayar, konsumen itu malah mengeluarkan kartu ATM,” katanya.
Di usia Herman yang lanjut, mana mengenal soal ATM. Tapi yang pasti, dia ngerti maksud dari konsumennya. Kisah selanjutnya, konsumen itu minta ijin kepada Herman, untuk mengambil uang di ATM terdekat, dan menyuruhnya menunggu.
Namun setelah berjam-jam Herman menunggu, konsumen yang belum bayar lengko itu tidak juga kunjung muncul batang hidungnya. Akhirnya, Herman memutuskan untuk pulang ke rumah, sambil membawa cerita untuk istri dan anaknya.