Dalam budaya Mataram, keraton, pasar, dan mesjid berhubungan dalam relasi segitiga keseimbangan hidup. “Pasar sebagai simbol matahari terbit atau kegiatan pagi harus ada di sebelah timur keraton, sedangkan mesjid merupakan simbol matahari terbenam yang harus ada di sebelah barat keraton,” ujar ahli sejarah UNS Solo Soedarmono.
Sabtu pekan lalu cuaca Kota Ciamis agak mendung hujan gerimis rintik-rintik, sore itu Abah Bandi (79) duduk-duduk di sebuah bangunan kecil seperti joglo tempat itu tidak jelas toko buku atau apa menghadap ke jalan ada pedagang bakso. Dia sedang menunggu cucunya sedang naik deldom (delman domba) mengelilingi taman Raflesia yang cukup luas, selain itu ada sepeda tandem yang penggoesnya berdua dan berdampingan dihiasi lampu warna-warni.
Dalam kesempatan itu HR melakukan percakapan ringan dengan Abah Bandi mantan Polisi Kecamatan Panawangan zaman baheula, kini bermukim di Ciamis. Abah Bandi mengenang tempo doeloe taman Raflesia, dulunya tempat ini pasar Ciamis di sini ada di sebelah timur, mesjid Agung di sebelah barat, Pendopo rumah dinas bupati sebelah utara di belakangnya Cileueur, di selatan kantor Pemda dan DPRD di tengah-tengah alun-alun. Jadi posisi lingkungan pemerintahan di Ciamis ada pengaruh Budaya Mataram.
Cerita Bandi muda dulu, pasar tradisional bukan hanya tempat bertransaksi jual beli saja. Berfungsi juga sebagai tempat pertemuan rakyat dari berbagai kalangan. Bahkan Bandi muda bertemu dengan istrinya di pasar ini sampai punya anak delapan, cucu duapuluh dua dan cicit empat belas orang. Bertemu di tukang sate di dalam pasar, dengan perempuan yang telah memberi keturunannya.
Bahkan Bandi hampir setiap bulan janjian bertemu dengan bekas pacarnya di pasar Ciamis, dan selalu membeli pesanan oleh-olah untuk calon mertua di desa Buniseuri, seperti tembakau warning, papir, sardencis, ikan bandeng, gula, kopi dan susu. Tempat yang punya kenangan indah bersama istri, kini telah berubah menjadi sebuah taman, dan Bandi tua juga bisa menikmati bersama cucu dan cicitnya, menghirup udara sore meskipun gerimis di taman Raflesia.
Lain Abah Bandi, lain pula cerita Dadang (36) bersama istri dan dua anaknya saat bertemu HR di warung bakso di jalan Ir Juanda Ciamis. Dadang urang Ciamis asli, begitu ngakunya bila Ciamis ingin ramai dan para pedagang atau pengusaha harus siap bersaing dalam menarik pembeli.
Harus siap berkompetisi sehat dalam berusaha baru akan berhasil dan maju usahanya. Bila jadi pedagang atau pengusaha cengeng tidak akan maju kotanya juga, apalagi kalau mendengar kicauan politikus yang hanya melakukan pencitraan untuk mendapat dukungan rakyat. Hanya cuma ngomong mulu membela kepentingan rakyat kecil, tak perlu didengar aja katanya.
Ujung-ujung ceritanya, Dadang sangat mendukung berdirinya Ci Mall (Ciamis Mall). Rencana akan di bangun di eks gedung bioskop Pusaka terletak di pusat kota Ciamis. Dengan adanya Ci Mall denyut kota Ciamis akan berbeda dengan sekarang.
Warga Ciamis tak akan berbelanja ke Tasikmalaya, yang sekarang ini bila ingin bertemu dengan orang Ciamis datang ke Mall di Tasikmalaya, tak sedikit urang Ciamis yang berbelanja dan mencari hiburan di sana. Pertanyaannya, kata Dadang, berapa duit dari Ciamis yang beredar di Tasikmalaya setiap harinya?
Lebih lanjut Dadang berharap, dengan adanya Mall di Ciamis akan menjadi lebih kuat menjadi magnit senter di wilayah utara, barat, dan timur. Semua kawasan perdagangan di Ciamis seperti pasar tradisional, dan toko akan ikut ramai asal siap berkompetisi menghias panjangan toko lebih menarik dari sekarang dan jam buka juga akan bertambah karena keramaian kota. Bila ada yang terdepak berarti pedagang dan pengusaha itu tidak mampu bersaing dengan kompetiternya, ucap Dadang. Itu salah sendiri!
Pengaruh budaya Mataram juga ada di Banjar, sebelum Banjar menjadi kota, Banjar adalah pusat perdagangannya Kabupaten Ciamis 30 persen PAD (Pendapatan Asli Daerah) didapat dari Banjar yang mempunyai pengaruh ekonomi ke Kabupaten Cilacap barat Prov. Jateng dan Ciamis selatan. Letak pasar ada di sebelah timur di pinggir Citanduy.
Konon kisahnya, Citanduy pada zaman dulu adalah sebagai alat transportasi sungai sangat berperan, memasok barang jualan ke pasar Banjar. Selain sayuran dan hasil pertanian lain dulu dipasok lewat rakit-rakit bambu dari Cimaragas dan sekitarnya dan sekalian bambunya dijual di pelabuhan Citanduy dan perahu-perahu dari Cilacap mengangkut garam ke pasar Banjar. Tempat bongkar muatnya di sasak besi sekarang .
Jelas pengaruh budaya Mataram di Banjar Pendopo Kawadanan yang sekarang Balai Kota Banjar di bagian utara, Mesjid Agung di barat, alun-alun berada di tengah, dan pasar di sebelah timur. Pasar tradisional di Kota Banjar sedang dibangun kembali dan diperluas untuk bangunan 14.250 meter persegi, dengan implasment/ jalan dan tempat bongkar muat menjadi 18.000 meter persegi.
Pasar Banjar sekarang sudah berubah meskipun statusnya pasar tradisional, tapi bangunan sudah modern. Hanya berfungsi untuk bertransaksi jual dan beli. Tak nampak lagi perempuan berbaris membawa dagangannya di pagi buta berjalan kaki menuju ke pasar Banjar, dengan membawa api obor sebagai alat penerangan selama perjalan dari desa menuju pasar Banjar. Itu semuanya hanya tinggal cerita. (bh)