Pengusaha lokal harus peduli terhadap pengembangan batik khas daerah. Selain itu, para pengrajin batik harus terus dibina, agar potensi ekonomi rakyat tumbuh dan sejalan dengan target nasional.
Tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional. Pada tahun 2009, batik mendapat pengakuan internasional dari UNESCO sebagai warisan budaya asli Indonesia. Animo masyarakat terhadap batik semakin tinggi.
Seiring dengan itu, maka industri batik pun berkembang. Seperti halnya di Kota Banjar yang sudah memiliki motif batik khas daerah.
Agar batik tersebut dapat dikenal masyarakat, baik di Kota Banjar maupun di luar daerah. Upaya pengembangan tidak hanya dilakukan pemerintah, tapi juga perlu dukungan pihak swasta.
Dan kini, pengembangan batik khas Banjar bermotif rambatan daun tarum dan ebeg mulai dilakukan secara serius oleh seorang pengusaha asal Kelurahan/Kecamatan Purwaharja, Kota Banjar, Hj. Lalak Siti Malak, yang telah lama berkecimpung menggeluti bisnis batik.
Menurut dia, sebagai seorang pengusaha batik, sudah seharusnya peduli terhadap pengembangan produksi batik khas daerah.
Selain itu, dirinya ingin memberdayakan kaum perempuan, khususnya ibu rumah tangga di lingkungannya, supaya memiliki kreatifitas yang membuahkan hasil. Sehingga mereka tidak selalu bergantung pada penghasilan suami.
Meski harus merogoh kocek sendiri untuk biaya pelatihan membatik ibu-ibu, serta modal pembelian kain dan peralatannya, kata Lalak, semua itu tidak menjadi soal, asalkan batik khas Banjar dapat berkembang, minimalnya di lingkup Kota Banjar.
Keseriusannya juga dibuktikan dengan mendatangkan instruktur profesional dari luar daerah. Dia berharap yang kini sedang berlatih bisa cepat mahir.
Permintaan untuk belajar membatik kian hari dirasakan Lalak semakin meningkat, bahkan beberapa desa lain di Kec. Purwaharja, kini meminta pelatihan.
“Jika ibu-ibu yang berlatih sudah mahir, sebagai pengusaha saya merasa senang. Dan pengusaha itu tidak akan merebut hak cipta,” ujar istri Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Pariwisata Kota Banjar, saat ditemui HR di rumahnya, Selasa (1/11).
Lebih lanjut Lalak mengatakan, bahwa batik khas Banjar ini belum bisa berkembang. Namun, dia sendiri tidak tahu pasti apa yang menjadi penyebab. Maka pengrajin batik harus terus dibina.
Para pengrajin pun kata Lalak, harus bisa melahirkan pengrajin baru lainnya. Karena, dalam membangun ekonomi berbasis kerakyatan, tentu perlu dikelola potensi ekonomi rakyat ini agar tumbuh dan sejalan dengan target nasional.
“Sekarang Banjar sudah memiliki motif batik khas, tentunya ingin mengembangkan industri batik khas daerah sendiri, untuk mendukung pelestarian batik yang diakui dunia sebagai warisan budaya Indonesia,” tuturnya.
Ditemui di tempat yang sama, Heri, pembuat desain batik khas Banjar, mengaku dirinya akan merasa bangga ketika para pengrajin batik mampu menumbuhkan ranting-ranting baru.
“Artinya, pengrajin jangan hanya menjadi pekerja, tapi harus bisa menciptakan pengrajin baru lainnya. Dan juga mampu membuka usaha industri batik sendiri. Itu akan membuat saya merasa bangga,” kata Heri.
Hasil survey Kementerian Perdagangan
Sementara itu, apresiasi yang tinggi terhadap batik juga terlihat dari data hasil survey Kementerian Perdagangan. Sebanyak 82% dari 700 reponden memberikan apresiasi positif pada karya batik tulis.
Dengan demikian, produk batik tidak lagi dianggap formal sehingga bisa dikenakan di luar forum resmi. Karena, sebagai busana produk batik kian modern dan gaya. Terbukti banyak ajang yang dimanfaatkan untuk mempromosikan dan menarik penikmat batik.
Mulai dari peragaan busana, pameran, hingga aktivitas bersepeda. Pameran produk batik adalah salah satu pintu promosi yang cukup sering dilakukan oleh pemerintah.
Hanya saja, daya tarik mengenakan batik tidak akan berdampak signifikan bagi perekonomian tanpa pengembangan optimal pada sisi penawaran, lantaran industri batik belum berkembang sepesat industri lain. Di samping itu, para pengrajin batik harus punya kemampuan berinovasi ragam hias teknis dalam mengolah batik yang memadai.