Konsep agropolitan mencoba untuk mengakomodasi dua hal utama, yaitu menetapkan sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan diberlakukannya ketentuan-ketentuan mengenai otonomi daerah. Secara garis besar, konsep agropolitan mencakup beberapa dimensi yang meliputi: (a). Pengembangan kota-kota berukuran kecil sampai sedang dengan jumlah penduduk maksimum 600.000 jiwa dan luas maksimum 30.000 hektar (setara dengan kota kabupaten); (b). Daerah belakang (pedesaan) dikembangkan berdasarkan konsep
perwilayahan komoditas yang menghasilkan satu komoditas/ bahan mentah utama dan beberapa komoditas penunjang sesuai dengan kebutuhan; (c). Pada derah pusat pertumbuhan (kota) dibangun agroindustri terkait, yaitu terdiri atas beberapa perusahaan sehingga terdapat kompetisi yang sehat; (d). Wilayah pedesaan didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang optimal dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan menengah, dan (e). Lokasi dan sistem transportasi agroindustri dan pusat pelayanan harus memungkinkan para petani untuk bekerja sebagai pekerja paruh waktu (partime workers) (Iwan Setiajie Anugrah: Kunci-Kunci Keberhasilan Pengembangan Agropolitan, 2003).
Kunci Keberhasilan
Terdapat syarat kunci untuk pembumian agropolitan Nasoetion (1999) dalam Sudaryanto dan JW Rusastra (2000) yakni: (1). Produksi dengan bobot sektor pertanian; (2). Prinsip ketergantungan dengan aktivitas pertanian sehingga neuro-systemnya; (3) Prinsip pengaturan kelembagaan; dan (4). Prinsip seimbang dinamis. Keempat syarat kunci tersebut bersifat mutlak dan harus dikembangkan secara simultan dalam aplikasi pengembangan agropolitan. Kurang berhasilnya program SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan), Program Inkubasi Bisnis, Program Pengembangan Wilayah Terpadu (khusus bobot pertanian) dan program sejenis lainnya, disebabkan oleh sifatnya yang persial dan tidak mengakomodasi secara utuh dan simultan keempat syarat utama pengembangan agropolitan tersebut.
Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah pedesaan, maka pemahaman konsep agropolitan dalam pengembangan wilayah merupakan hal penting, karena hal ini akan memberikan arah dasar perencanaan pembangunan perdesaan dan aktivitasnya dalam proses pengembangan wilayah selanjutnya. Konsep agropolitan sebetulnya merupakan konsep yang ditawarkan oleh Friedman dan Douglas (1975) atas pengalaman kegagalan pengembangan sektor industri di beberapa negara berkembang (di Asia) yang mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan, antara lain (a). Terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk di kota-kota yang padat; (b). Pembangunan modern hanya terjadi di beberapa kota saja, sementara daerah pinggiran relatif tertinggal; (c). Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang relatif tinggi; (d). Pembagian penadapatan yang tidak merata (kemiskinan); (e). Kekurangan bahan pangan, akibat perhatian pembangunan terlalu tercurah pada percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid industrialization); (f). Penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (patani) dan (g). Terjadinya ketergantungan pada dunia luar.
Penulis, Dede Herdiman, S.Sos
Tinggal Di Banjar Kolot-Kota Banjar