Perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, menjadi salah satu tujuan pencapaian paling penting ketika para founding father merumuskan tujuan-tujuan kemerdekaan Indonesia. Tema keadilan sosial itu pula yang menjadi magnet bagi para pemimpin politik, pemimpin agama, dan kaum intelektual di awal pendirian Republik ini ketika mereka merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Keadilan yang dipahami sebagai bentuk kesetaraan kedudukan warga negara juga dirumuskan para founding fathers dengan mencantumkan klausul ini pada Pasal 27 UUD 1945.
Tidak berhenti sampai di sini. Perubahan politik besar pada 1998 yang ditandai oleh runtuhnya kekuasaan politik otoritarian yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun telah menempatkan warga negara sebagai subjek penting dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu ditandai dengan disahkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang meletakkan fondasi hukum bagi penghormatan hak-hak asasi manusia, termasuk hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 27 UU No. 39 Tahun 1999).
Sampai titik ini tampak bahwa tema keadilan sebetulnya bukan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Namun demikian, dalam realitas empirik, keadilan sosial tampaknya masih merupakan barang mewah bagi rakyat Indonesia. Keadilan belum menjadi landasan nilai, sikap, pola perilaku, dan pelembagaan formal bangsa ini. Pada titik ini, ketidakadilan masih menjadi isu relevan untuk diperdebatkan. Kesenjangan dalam kepemilikan sumber daya, baik sumber daya ekonomi, politik, maupun sosial, dapat dilihat sebagai pendorong ketidakadilan.
Beberapa kasus menunjukan bahwa kepemilikan sumber daya menentukan seseorang untuk mendapatkan privelege atau keistimewaan, utamanya di depan hukum. Belum hilang dari ingatan kita bagaimana Minah, seorang nenek asal Kabupaten Banyumas, harus menghadapi masalah hukum tanpa didampingi pengacaranya karena mencuri tiga biji kakao yang nilainya Rp 2 ribu. Atau Rasminah, nenek berusia 60 tahun yang diseret ke meja hijau lantaran dituduh mencuri enam piring, setengah kilo daging sapi, dan pakaian bekas milik majikannya. Sebelum menjalani tiga kali persidangan di PN Tangerang tanpa didampingi pengacara, Rasminah mendekam dua bulan di Lapas Wanita Tangerang dan dua bulan tiga hari di tahanan Polsek Metro Ciputat.
Sementara kasus-kasus pencurian kakap yang melibatkan para pemilik sumber daya ekonomi, sosial, dan politik dengan mudah mendapatkan perlakuan istimewa di depan hukum. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Artalyta Suryani, terpidana 5 tahun untuk kasus suap terhadap jaksa senilai Rp. 6 milyar dalam kasus BLBI-BDNI, menikmati fasilitas mewah selama di penjara. Tengok pula Gayus Tambunan, terpidana kasus mafia pajak yang mengantongi uang Rp. 25 milyar, dapat leluasa keluar dari penjara sampai ke Bali.
Kasus-kasus di atas menunjukkan betapa tema keadilan sangat relevan untuk dibincangkan hari-hari ini. Keadilan yang terus mengalami pengerdilan dalam wacana praksis mendorong munculnya gagasan tentang perlunya mekanisme bagi perwujudan keadilan supaya keadilan tak hanya mewujud sebagai nilai normatif yang miskin implementasi. Dalam kaitan ini, merumuskan kerangka berpikir yang tepat dan kontekstual tentang keadilan menjadi kebutuhan pertama dalam perumusan mekanisme perwujudan keadilan.
Jika ditelusuri secara teoritik, tema keadilan dirumuskan secara teoritik oleh pemikir filsafat politik dan moral ternama asal Harvard University, AS, yaitu John Bordley Rawls. Ia menyusun buku berjudul A Theory of Justice (1971). Menurut Rawls, keadilan membutuhkan dua prinsip, yaitu: (1) Prinsip Kebebasan dan Kesamaan, yaitu bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas keseluruhan sistem yang paling luas dari kebebasan dasar yang sama sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua orang. Prinsip pertama ini harus didahulukan tanpa kecuali; (2) Prinsip Perbedaan, yaitu bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial harus diatur untuk memberikan keuntungan terbesar bagi pihak yang paling tidak diuntungkan (maximin theory) dan membuka posisi dan jabatan bagi semua di bawah kondisi persamaan kesempatan yang fair. Dalam kaitan ini, intervensi institusi sosial politik, utamanya negara, menjadi alternatif solusi dalam mengatasi persoalan keadilan.
Rawls mengoreksi pandangannya dalam buku Political Liberalism (1993). Ia menyebutkan konsep Justice as Fairness yang dipandang sebagai konsepsi keadilan politik. Menurut Rawls, prinsip kebebasan melahirkan mekanisme pasar yang mengorbankan pelaku ekonomi yang kalah dalam persaingan. Keadilan, tulis Rawls, hanya terjadi jika ada perhatian kepada kaum tak bermodal yang kalah dalam persaingan. Rawls mensyaratkan adanya prinsip fair equality of opportunity.
Proposisi teori keadilan Rawls ini, dalam implementasinya, mendorong tindakan afirmatif atau kebijakan distributif dari negara. Tindakan itu penting untuk mencapai percepatan bagi terciptanya kesetaraan dan kesamaan kesempatan yang memungkinkan terwujudnya keadilan bagi semua pihak. Teori keadilan ala Rawls penting dalam merumuskan mekanisme perwujudan keadilan sebagaimana diamanatkan Konstitusi dan Dasar Negara Republik Indonesia. Meskipun demikian, rumusan teori keadilan tersebut harus dapat diturunkan ke dalam mekanisme yang lebih implementatif, kontekstual, dan dapat diaplikasikan dalam realitas empirik.