Taman-taman kecil yang digerakan komunitas bisa membuat kota lebih nyaman, untuk hidup layaknya terapi akupuntur pada tubuh.
Ada gula pasti ada semut, itulah sebuah kota, hampir semua yang disebut kota, selalu menjadi tujuan migrasi. Seperti yang kini dirasakan di kota besar di dalam negeri maupun di luar negeri, serbuan penduduk menjadi segudang masalah.
Daya dukung kota yang terbatas, membuat pengaturan kegiatan publik atau pun tata guna lahan tidak bisa berjalan dengan baik. Akibatnya, bukan hanya kualitas hidup warga yang turun. Melainkan juga kualitas lingkungan menjadi rusak.
Salah satu daya dukung lingkungan yang minim di kota adalah ruang terbuka hijau. Kondisi ini bukan hanya di alami kota-kota besar di Indonesia, contoh Ibu kota Jakarta. Situs berita Guardian.co.uk menyebutkan banyak kota-kota besar di berbagai negara diterpa dilema yang sama.
Dilema antara pemenuhan kebutuhan hidup dan anggaran terbatas pun mendorong mencari solusi-solusi alternatif. Di negeri Paman Sam, salah satu solusi tata kota, yang sedang naik daun ialah urban acupuntur.
Konsep unik ini dipopulerkan arsitek asal Finlandia, Proffesor Marco Casagrande, yang sejak 2003 dikenal sebagai arsitek yang berfokus pada keseimbangan lingkungan hidup. Sesuai dengan namanya, urban acupuncture, terinspirasi dari metoda pengobatan tradisional China, yakni akupunture. Arsitek asal Los Angeles Profesor John Southern, dalam wawancara dengan media di Inggris beberapa waktu lalu.
Menjabarkan bahwa konsep Marco Casagrande, bertolak belakang dengan proyek-proyek hijau di perkotaan yang kerap butuh lahan dan investasi yang besar. Urban Acupunture merupakan metode intervensi lingkungan perkotaan dengan cara dan pada tempat yang selektif yang memang membutuhkan ruang terbuka.
Maka layaknya terapi akupuntur, perbaikan lingkungan diberikan pada titik-titik yang memang membutuhkan dan menyebar, bukan terpusat. ‘Kota diperlakukan seperti organism hidup’. Perbaikan ruang dibuat dengan target yang spesifik, rendah biaya, demokratis, dan memang tujuannya menyediakan ruang terbuka yang mudah diakses masyarakat sekitar, tutur Marco.
Kosep urban acupuncture itu pun mendapat respon positif. Banyak komunitas dan pengusaha AS mendukungnya karena telah merasakan banyak proyek ‘hijau’ pemerintah, baik taman atau bangunan dengan sartifikat hijau, mengorbankan lahan yang terlalu luas. Di lain sisi, lahan itu sendiri sebenarnya dibutuhkan komunitas lokal untuk fungsi lain.
Bentuk-bentuk urban acupuncture bisa dilihat di berbagai kota di AS. Di Brooklyn, seniman Christina Kelly menerapkannya dengan membuat taman-taman kecil di sudut jalan raya.
Pada proyek yang dinamakan Caroll Gardens Patch tersebut, berbagai tanaman bisa di tanam bergantian. Pada tahun pertama Kelly menanam jagung, pada tahun berikutnya seniman Andrew Casner menanam bunga matahari.
Sebagaimana dituturkan anggota LSM Lingkungan Grist, Sarah Goodyear, manfaat tanaman sangat terasa. Bukan sekedar penghias jalan, melainkan juga seperti oase bagi masyarakat sekitar.
Goodyear yang tinggal beberapa blok dari tanaman itu, mengatakan selalu melihat orang bersantai atau beristirahat di pinggiran tanaman yang memang didesain seperti tempat duduk. Meski tidak ada biaya perawatan dari kota, tanaman itu selalu terawat baik karena partisipasi masyarakat sekitar.
Tanpa ada anjuran, pemilik tempat usaha yang ada di sekitar taman kerap ikut menyiram tanaman. Jika ada sampah, warga yang lewat dengan sukarela memungut. Maka, secara tidak langsung adanya tanaman menghidupkan kepedulian masyarakat.
Populernya konsep urban acupuncture di AS sekarang ini diyakini juga karena perkembangan teknologi. Dengan banyaknya program computer untuk pemetaan kota, para arsitek ataupun komunitas dengan mudah mengetahui tempat yang membutuhkan perombakan.
Konsep urban acupuncture memang mendorong pemanfaatan tempat terbengkalai ketimbang harus menggusur tempat yang masih digunakan masyarakat. Tempat-tempat terbengkalai nyatanya masih banyak di perkotaan, bahkan di kota yang tampak padat sekalipun.
Profesor dari University of California, Nicholas de Moncaux, mengatakan bahwa dengan teknologi GIS (geographic information system), ia menemukan 600 lokasi terbengkalai di San Francisco. Jika digabung, luas total lokasi itu mencapai dua pertiga Golden Gate Park, taman terbesar di San Francisco yang sekaligus menjadi paru-paru kota.
Di sisi lain, konsep taman lokal sebenarnya bukan konsep baru. Di Berlin, Jerman, ketika pemerintah kota kesulitan melacak para pemilik bangunan yang ditinggalkan pada era perang dunia ke II, bangunan atau tempat terbengkalai diubah menjadi taman-taman kota.
Hal serupa tentunya juga bisa menjadi pemikiran para pemerintah kota di Indonesia. Ketimbang membangun taman atau bangunan yang bernilai miliaran rupiah, ada baiknya memanfaatkan lahan terbengkalai. (HR dari berbagai sumber)