Deni Supendi
Sejak dinyatakan sebagai pusat kedua Kota Banjar, Langensari memang tak pernah tidur. Pagi, siang, hingga malam pun masih tetap saja ramai. Orang-orang dan berbagai macam kendaraan tak pernah berhenti lalu lalang berhimpitan dengan segala kesibukannya, seperti layaknya siang hari.
Warung-warung kecil masih buka, Bang Uca, pun masih tetap setia di samping gerobak sambil menjajakan sederet jajanan ringan.
Di seberang jalan terlihat Ma Dodo, perempuan tua berusia 69 tahun, juga sedang menjajakan kacang rebus dagangannya. Sebelahnya, seorang lelaki yang masih nampak tegap membuat adonan âGorenganâ untuk pesanan pelanggan.
Sambil duduk di atas trotoar di samping gerobak martabak, sesekali pandangan terarah ke wajah nenek tua yang sedianya beristirahat di rumah, malah masih berjualan di malam hari. Dibandingkan dengan pedagang disampingnya, usia Ma Dodo tentunya jauh di atas usia tukang gorengan.
Ma Dodo, perempuan tua dengan dandanan alakadarnya memang sering terlihat berjualan sejak usianya masih muda. Menurut cerita, Ma Dodo terpaksa berjualan semenjak dirinya menjanda, beberapa puluh tahun lalu.
Saat membuka perbincangan, Ma Dodo seolah tidak canggung menghadapi berbagai pertanyaan seputar kehidupannya. Dia mengisahkan cerita hidupnya, berjualan kacang rebus hanya bermodalkan satu kilogram kacang, yang dia beli Rp 8 ribu.
Ternyata, tidak banyak konsumen yang membeli, bahkan tak jarang Ma Dodo hanya mendapat uang Rp 1.500, dan terkadang nihil. Ia mengaku sudah puluhan tahun berjualan di emperan toko tersebut.
Ketika usianya masih muda, Ma Dodo sering berjualan kacang rebus di warga yang tengah menggelar hajatan. Namun, di usianya kini, Ma Dodo hanya mengandalkan uang dari hasil berjualan di emperan toko depan pasar Muktisari.
Ma Dodo adalah salah satu contoh siklus kehidupan di Langensari, mirip dengan penjual/ pedagang lainnya, yang mencoba mencari sesuap nasi, demi mempertahankan kehidupannya dari keramaian malam di Langensari.
Entah berapa banyak orang yang menggantungkan hidupnya dengan keramaian Langensari. Semua berkumpul di sini dengan alasan utama yang hampir sama, yaitu mencari uang dan mencari uang.
Langensari memang mempunyai daya tarik, orang yang tidak mengerti apa itu uang juga banyak berkeliaran di sini, berjalan gontai, telanjang, tertawa sendiri dan tak jarang berdiri di depan tugu KB (Keluarga Berencana) dengan berlagak seperti pejabat yang sedang berpidato.***