Menjelang tahun ajaran baru, wacana publik di tanah air diramaikan dengan isu pendidikan di tanah air yang makin mahal, terutama pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Hal itu tidak lepas dari pengaruh pemikiran kaum liberal klasik yang menginginkan negara melepaskan subsidi, termasuk subsidi pendidikan, karena subsidi dianggap mengakibatkan inefisiensi.
Negara kemudian mendorong otonomi bagi perguruan tinggi untuk mencari biaya operasional secara mandiri. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dulu dikenal murah, sekarang sulit terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah seiring perubahan status PTN menjadi BHMN. Pada pendidikan menengah, munculnya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), telah mengakibatkan biaya sekolah negeri lebih mahal dari sekolah swasta.
Pendidikan Murah ala Norwegia
Pada Februari 2009 lalu saya berangkat ke Norwegia, salah satu negara di kawasan dekat kutub utara yang menerapkan rejim Negara Kesejahteraan (Welfare State). Saya harus menempuh satu semester di negeri itu untuk pendidikan S2 Ilmu Politik yang terselenggara atas kerjasama Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitetet i Oslo (UiO) Norwegia. Di negeri itu saya belajar tentang bagaimana Negara Kesejahteraan dibangun dan dilembagakan. Tulisan ini hanya menukil sebagian kecil saja pengalaman saya di Norwegia, khususnya hal-hal yang berkaitan pada bagaimana mereka membangun sistem pendidikan murah tetapi menyediakan fasilitas yang wah.
Pendidikan tinggi di sana bukan saja murah, tetapi juga menyediakan fasilitas yang wah. Biaya SPP yang harus saya bayar untuk menempuh program pascasarjana (S2) nilainya setara dengan Rp. 800 ribu saja. Itupun karena saya warga negara asing. Bandingkan dengan biaya SPP yang harus saya bayar untuk program yang sama di UGM. Di negeri sendiri, saya harus membayar SPP Rp. 8 juta persemester. Itu berarti biaya pendidikan tinggi di Indonesia (bahkan di UGM yang terkenal sebagai PTN termurah) lebih mahal 10 kali lipat dibandingkan dengan biaya pendidikan di Norwegia. Beruntung saya tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk semua itu karena saya mendapat beasiswa dari lembaga kerjasama pembangunan Norwegia.
Kekaguman saya tidak berhenti pada biaya pendidikan yang murah. Satu hal yang membuat saya tercengang adalah fasilitas pendidikan yang diberikan sangat wah. Ada beberapa fasilitas yang tidak saya dapatkan di perguruan tinggi di Indonesia. Pertama, saya dapat meminjam buku di perpustakaan UiO tanpa pembatasan jumlah buku. Setelah satu bulan peminjaman, saya dapat memperpanjang peminjaman buku secara terus-menerus selama saya belum menghabiskan bacaan buku yang dipinjam.
Kedua, saya dapat meminjam buku di perpustakaan universitas lain. Jika buku yang saya cari tidak ditemukan di perpustakaan UiO dan ada di perpustakaan universitas lain, maka pengelola perpustakaan UiO dapat meminjamkan buku di perpustakaan universitas lain untuk saya, tanpa dipungut biaya apapun.
Ketiga, akses terhadap komputer dan internet. Setiap fakultas memiliki laboratorium komputer yang berisi puluhan komputer yang terhubung ke jaringan internet. Seluruh komputer dapat saya gunakan dengan menggunakan id dan password yang diberikan kepada saya segera setelah saya terdaftar sebagai mahasiswa UiO. Saya memperoleh akses internet supercepat yang memudahkan saya untuk mendapatkan informasi apapun di internet, termasuk silabus dan seluruh bahan bacaan wajib.
Keempat, Saya mendapatkan akses ke semua jurnal ilmiah online dari berbagai disiplin ilmu di seluruh dunia secara cuma-cuma. Pihak UiO membeli akses ke semua jurnal ilmiah online yang ada dan memberikan akses tersebut ke semua mahasiswa UiO. Wacana akademik mutakhir yang muncul dalam debat-debat akademik di semua jurnal ilmiah dapat saya download secara gratis dan supercepat. Sementara di dalam negeri, untuk mendapatkan akses ke jurnal ilmiah online, saya harus membayar sangat mahal. UGM memang telah membeli akses jurnal ilmiah online, tapi jumlahnya masih sangat terbatas dengan kecepatan akses yang buruk.
Bagaimana pemerintah Norwegia menciptakan pendidikan yang sangat murah, tetapi menyediakan fasilitas yang wah? Kondisi ini tidak lepas dari penerapan rejim Negara Kesejahteraan di negeri itu. Dalam skema Negara Kesejahteraan, negara memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan untuk melepaskan ketergantungan warga terhadap mekanisme pasar. Negara menanggung seluruh resiko sosial (tidak berpendidikan, sakit, pengangguran, tua) dalam bentuk sistem jaminan sosial universal.
Sebagai salah satu resiko sosial yang dihadapi warga, pendidikan menjadi isu yang tercakup dalam sistem jaminan sosial universal. Negara memungut dan mengumpulkan pajak yang sangat besar dari warganya. Pajak itu dikelola secara transparan (Norwegia tercatat sebagai negara dengan zero curruption), kemudian dikembalikan ke warga dengan mengkonversinya dalam bentuk sistem jaminan sosial universal.
Melalui sistem jaminan sosial universal, negara menjamin pendidikan warganya. Pendidikan dibiayai oleh negara sebagai bentuk pengakuan atas hal sosial yang tidak dapat dilanggar. Bukan itu saja. negara juga mengeluarkan belanja sosial yang tidak sedikit untuk membangun fasilitas pendidikan berkualitas.
Belajar dari pengalaman Norwegia, pendidikan murah dengan fasilitas wah semestinya sudah menjadi praktik di negeri ini. Peran negara yang kuat dalam perekonomian dan, karena itu, memiliki kapasitas untuk menjamin pendidikan warga, sebetulnya telah menjadi spirit konstitusi kita. Ketika Republik ini didirikan, para pendiri bangsa ini memasukkan pendidikan dalam kategori hak konstitusional warga yang tidak dapat dilanggar. Jika negara gagal menjamin pendidikan warganya, maka sah bagi kita untuk menilai bahwa negara telah melanggar konstitusi.