Peringatan Hari Anak Nasional tahun 2011 tanggal 23 Juli lalu, salah satu permintaan dari Suara Anak Indonesia kepada pemerintah yaitu pemerataan fasilitas teknologi informasi hingga ke daerah terpencil. Namun, anak-anak Bojongkoncod tetap Happy meski dengan kreasi seadanya.
Eva Latifah
Untuk bisa mendapatkan permainan yang mudah, murah tapi menyenangkan, anak-anak di wilayah pedesaan sering kali lebih kreatif bila dibandingkan dengan anak-anak di daerah perkotaan.
Sepulang dari sekolah, anak-anak di Dusun Bojongkoncod, Desa Langensari, Kec. Langensari, Kota Banjar, mengisi waktu luangnya dengan bermain layangan atau medar di atas tanggul. Saking asyiknya, mereka tidak menghiaraukan teriknya panas matahari siang itu, Senin (25/7).
Di atas tanggul Sungai Citanduy, Roni (10), serta dua orang teman mainnya, Cahyo (7) dan Egi (8), terlihat anteng memperhatikan layangannya sambil ngagomel dan sesekali menarik ulur benang yang membentang ke atas, sehingga layangan mereka tampak seperti menari-nari di udara.
Bermain layangan biasa mereka lakukan disaat musim kemarau. Meski sekarang belum bisa dikatakan musim kemarau, karena terkadang masih turun hujan. Namun, cuaca saat itu menurut mereka bagus untuk bermain layangan.
Layangan yang diterbangkan sangat sederhana, tidak seperti layangan yang diterbangkan anak-anak di daerah perkotaan. Maklum saja, layangan Roni, Cahyo dan Egi didapat bukan dari penjual layangan, namun buatan mereka sendiri.
Hanya dengan menggunakan bahan seadanya, yaitu plastik bekas, sedangkan bambu untuk rangka diambil dari kebun yang ada di sekitar kampung mereka. Selain itu, golong untuk benangnya pun cukup menggunakan kaleng bekas minuman.
Semua kesederhanaan itu tidak menyurutkan keriangan ketiga anak tersebut. Canda dan tawa selalu mengiringi mereka selama bermain layangan. Terkadang saling ejek, lalu kemudian ketiganya tertawa kembali.
‘Beurat sabeulah langlayangan nu si Cahyo mah, awas bisi nyamber kana langlayangan nu urang, rugi atuh disamber nu butut mah,” ujar Egi, sambil tertawa lebar.
Mendengar dirinya diejek seperti itu, Cahyo malah terlihat sengaja mendekatkan layangannya ke arah layangan Egi. Posisi keduanya juga berdekatan, sehingga terkadang Egi menjauhi Cahyo.
“Bae beurat sabeulah ge, nu penting bisa ngapung jeung gede kawanina,” jawab Cahyo yang terus berusaha mendekati Egi.
Hingga beberapa saat mereka berdua terus saling ejek, sementara Roni tetap asyik memperhatikan layangannya sendiri yang bergoyang-goyang ditiup angin.
Namun, baik Egi maupun Cahyo akhirnya berhenti saling ejek, mereka kembali fokus pada layangannya masing-masing. Dengan menggoyang-goyangkan benang layangannya, sesekali terdengar ketiganya hahariringan sebuah lagu.
Kemudian, ada juga diantaranya yang bersiul-siul seperti memanggil angin. Kebiasaan itu sering mereka lakukan manakala angin kurang berhembus. Menurut Roni, sebetulnya angin yang berhembus perlahan juga masih bisa membuat layangan mereka terbang.
Lantaran, kata dia, ukuran layangan sengaja dibuat dengan ukuran kecil, tapi tenaganya cukup besar. Lalu, bahan yang digunakan juga sangat ringan sebab terbuat dari plastik.
Jika cuaca sedang bagus, biasanya mereka bermain layangan hingga sore hari. Egi mengaku, saking senangnya bermain layangan dari siang sampai sore hari, dirinya sering mengabaikan waktu makan siang. “Kalau lagi asik medar, rasa lapar jadi hilang, tahu-tahu sudah sore lagi,” kata Egi.
Medar layangan di atas tanggul Sungai Citanduy bagi mereka sudah cukup menggembirakan, apalagi layang-layang hasil buatan sendiri ternyata dapat diterbangkan.
Seiring dengan peringatan Hari Anak Nasional tahun 2011 yang jatuh pada tanggal 23 Juli lalu, kegembiraan ketiga bocah tersebut menjadi gambaran kehidupan anak-anak di daerah terpencil. ***