Banjar, (harapanrakyat.com),- Pendidikan buat anak saat ini terasa mahal sekali, kalimat itu seringkali kita dengar dari ungkapan para orang tua siswa yang hendak menyekolahkan anaknya di sejumlah sekolah favorit.
Bayangkan saja, tarif yang dipatok pihak sekolah untuk iuran pada tahun pertama tergolong tinggi. Dan hal ini dirasa sangat memberatkan para orang tua, apalagi jika kondisi ekonomi mereka yang juga rendah. Semakin sekolah tersebut favorit, maka sekolah itu pun seolah menjadi mahal.
Kegiatan Penerimaan Siswa Baru (PSB) tahun 2011 kembali menjadi sorotan. Terlebih lagi, PSB di sejumlah sekolah negeri yang banyak diminati para calon siswa. Sekolah tersebut mematok tarif cukup fantastis diatas angka Rp3 juta.
Beberapa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) dan (SMKN) favorit di Kota Banjar juga mematok tarif yang cukup lumayan besar. Tarif tersebut terlampau jauh berbeda dibanding dengan biaya yang dipatok di sejumlah SMA/ SMK swasta.
Wakasek Humas SMAN 1 Banjar, Barnas, Senin (30/5), mengatakan, biaya yang dipatok di SMAN 1 Banjar, untuk tahun pertama siswa baru mencapai kurang lebih Rp 4 juta. Menurutnya, biaya tersebut diperuntukan bagi kebutuhan dan pengembangan sekolah.
Barnas menjelaskan, pada PSB tahun ini, pihaknya membuka dua jalur penerimaan siswa, diantaranya jalur khusus (PMDK) dan tes. Dari jatah sekitar 360 calon siswa yang akan diterima, 192 diantaranya sudah dipenuhi calon siswa dari jalur khusus.
Di lain tempat, Kepala SMKN 2 Banjar, An Nur, mengatakan, pihaknya belum berani mematok biaya bagi calon siswa yang akan masuk ke sekolahnya. Dia beralasan, pihak sekolah belum mengadakan rapat bersama komite sekolah soal penentuan biaya PSB.
Sementara itu, Ketua PSB SMA Kesehatan Bina Putra Banjar, Ujang Kosmara, Selasa (31/5), mengatakan, untuk biaya siswa baru hanya dipatok sekitar Rp1.800.000. Dengan kata lain, biaya tersebut jauh lebih murah ketimbang di sekolah negeri.
Menurut Ujang, kesempatan pendidikan antara di sekolah swasta dan negeri seharusnya tidak dibeda-bedakan. Namun, pada kenyataannya perbedaan itu sangat terasa di mata para pengelola SMA Swasta.
Mungkin kita juga masih ingat, ketika iklan âSekolah Gratisâ memiliki ruang nyaman dalam mata pandang pemirsa televisi, mencuat kepongahan pemerintah yang membanggakan diri bahwa pendidikan Indonesia memiliki imunitas memadai, berdaya saing tinggi, dan mampu menjembatani kebutuhan dunia usaha, dalam konteks ini menyediakan tenaga kerja.
Perilisan iklan tersebut, disinyalir lebih bermuatan politis ketimbang menyatakan sebuah fakta adanya program penggratisan biaya pendidikan. Faktanya, mayoritas masyarakat kita sudah terlanjur menelan mentah-mentah jargon kampanye “Sekolah Gratis” tersebut, sehingga siswa maupun wali murid cenderung enggan mengeluarkan biaya bagi penyelenggaraan proses pembelajaran.
Selain itu, kebijakan-kebijakan pendidikan yang pragmatis dan snobis, seperti halnya pada kebijakan Ujian Nasional (UN) dan Sertifikasi Guru. Dua program pemerintah tersebut terkesan hanya berkutat pada pijakan parsial yakni statistika nilai dan besaran materi gaji guru.
Dua program pemerintah itu hanya mencerminkan suatu kebijakan yang bertolak pada pola pemikiran asumtif tanpa menilik secara proporsional, terhadap situasi dan kondisi konkret pendidikan. Akibatnya, pola kependidikan kita dewasa ini melahirkan jurang lebar disparitas antara sistem-sistem pendidikan dan tuntutan lingkungan. (dn)