Bringing Pancasila Back In. Itulah tema yang cocok untuk memeringati hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni ini. Sekian lama kita kehilangan ruh Pancasila dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, maupun politik kita.
Setiap 1 Juni kita diingatkan untuk mengembalikan Pancasila pada tempatnya yang terhormat dalam jiwa bangsa ini. Bapak-bapak pendiri (founding fathers) menggali Pancasila dari nilai-nilai luhur yang menghidupi bangsa ini pada masa lalu.
Namun kini tak mudah kita menemukan remah-remah spirit Pancasila dalam praktik kehidupan kita.
Terlalu lama Pancasila dihidup-hidupkan hanya sebagai slogan absurd di tengah praktik kehidupan yang justru bertentangan dengannya.
Kita bahkan hampir tak melirik lagi Pancasila ketika ia ditampilkan rejim otoriter masa lalu sebagai peredam oposisi politik selama puluhan tahun.
Merongrong ideologi Pancasila menjadi idiom favorit penguasa masa lalu untuk mengerangkeng kemerdekaan sipil dan politik. Alih-alih menjadi landasan nilai, sikap, pola perilaku, dan pelembagaan formal bangsa ini, Pancasila dijadikan kosmetik yang membedaki penguasa.
Kini ketika ruh Pancasila tak muncul dalam raga bangsa Indonesia, saya justru menemukan Pancasila menjadi ruh yang menghidupi negeri-negeri dekat kutub utara yang dikenal sebagai wilayah Skandinavia (Norwegia, Swedia, Denmark). Sampai sejauh itukah ruh Pancasila terbang berkelana?
Saya menemukan esensi sila ke-2, sila ke-3, dan ke-5 Pancasila di Skandinavia. Di negeri-negeri itu, negara membangun sistem jaminan sosial universal yang melindungi seluruh warga dari resiko sosial (sakit, menganggur, tua/pensiun).
Resiko sosial tidak diserahkan mentah-mentah pada mekanisme pasar ataupun keluarga. Negara tampil sebagai penanggung resiko sosial yang dihadapi seluruh warga.
Di negeri-negeri kutub itu, negara memungut dan mengumpulkan pajak progresif yang sangat besar dari seluruh warga.
Namun pajak itu didistribusikan kembali dalam bentuk sistem jaminan sosial yang manfaatnya dinikmati oleh seluruh warga berdasarkan atas kewargaan (citizenship), dan bukan atas dasar kepemilikan aset (kaya atau miskin), jenis pekerjaan (PNS atau bukan), ataupun kelas (pekerja formal atau bukan).
Saya mendapati kenyataan bahwa ketimpangan dan kemiskinan absen dalam kehidupan sosial di negeri-negeri itu. Peran negara yang aktif dalam perekonomian satu hal yang ditentang oleh kaum neoliberal—menjadi rangka yang menopang bangunan Negara Kesejahteraan (welfare state), sebutan untuk rejim-rejim politik di Skandinavia.
Negara memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan kepada warganya sebagai bentuk pengakuan atas hak sosial yang tidak dapat dilanggar.
Sistem jaminan sosial universal di Skandinavia yang menyasar seluruh warga telah mengurangi perbedaan kelas dan membentuk identitas kolektif. Pelembagaan program publik kolektif dan universalis itu kemudian menggantikan individualisme atau identitas kelompok yang sempit dengan solidaritas sosial yang luas (Triwibowo dan Bahagijo 2006).
Dengan demikian, sistem jaminan sosial bukan saja berdampak pada kesetaraan pendapatan dan kesejahteraan, tetapi juga pada penciptaan egalitarianisme, keadilan sosial, persatuan dan solidaritas sosial.
Persatuan dan solidaritas sosial menjadi semen bagi fondasi sosial yang mengukuhkan bangunan Negara Kesejahteraan meski mendapat hantaman eksternal (globalisasi) dan tekanan internal (krisis pascaindustri).
Melihat fenomena Negara Kesejahteraan di Skandinavia, saya seperti ditampar oleh kenyataan bahwa Pancasila yang lahir dari rahim bangsa ini justru telah lama menjadi spirit dalam praktik kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik negara-bangsa di kutub utara.
Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila ke-2), Persatuan atau solidaritas sosial (sila ke-3) serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat (sila ke-5) justru dibangun dan dilembagakan di negeri-negeri yang tak pernah mengenal Pancasila.
Pada 1 Juni ini kita diingatkan kembali untuk menata ulang kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik kita. Para founding fathers melahirkan Pancasila dari pergulatan pemikiran yang panjang berdasarkan nilai-nilai luhur yang hidup dalam jiwa bangsa ini pada masa lalu.
Para founding fathers tentu tak berharap Pancasila sekedar slogan yang absurd. Kini saatnya bringing Pancasila back in, mengembalikan Pancasila ke dalam rumah bangsa ini dengan menjadikannya sebagai ruh yang menghidupi nilai, sikap, pola perilaku, dan kelembagaan formal kita.
Asep Mulyana, Tim Litbang HR
Pernah Belajar Ilmu Politik di University of Oslo, Norwegia (Tinggal di Kota Banjar)