Kita sering mengalami paradoks ketika menyelesaikan suatu masalah, tak terkecuali ketika kita dihadapkan pada persoalan sektor informal. Pada satu sisi kita mengakui pentingnya sektor informal sebagai penyangga ekonomi, namun pengakuan itu tak lantas membuat kita memberikan insentif dan perlindungan yang memadai pada sektor ini.
Sektor informal mewujud dalam usaha berskala kecil dengan modal terbatas dan kurang mendapat proteksi resmi pemerintah. Sektor informal ditandai oleh kegiatan usaha bermodal utama pada kemandirian, berteknologi sederhana, berbahan baku lokal, pekerja berkualitas rendah dan kadang tanpa upah (sebagian pekerja diambil dari anggota keluarga), dan melayani kebutuhan masyarakat menengah ke bawah (Hidayat 1978).
Sektor informal muncul di hampir semua sektor ekonomi, misalnya di sektor industri manufaktur ada home industry atau di sektor perdagangan ada warung kelontong, pedagang keliling, hingga Pedagang Kaki Lima (PKL).
Sektor informal tak bisa dipandang remeh mengingat pertumbuhan sektor ini luar biasa. Menurut Studi mengenai Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan ke Depan yang dilansir Direktorat Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi Bappenas, pada 2000 saja sektor informal telah menyerap 69,63 persen angkatan kerja.
Hanya 30,37 persen angkatan kerja yang diserap sektor formal. Dari angka ini tampak sektor informal telah membantu pemerintah dalam mengatasi pengangguran. Dengan demikian, pemerintah punya kewajiban moral untuk melindungi sektor ini.
Memanusiakan Sektor Informal
Urbanisasi menjadi fenomena tak terhindarkan ketika Banjar tumbuh sebagai kota baru. Para urban yang tak sepenuhnya diserap sektor formal, bekerja di sektor informal. Sebelum masalah ini menjadi benang kusut, alangkah arif jika Pemkot mengintegrasikan sektor informal dalam skema penataan ekonomi.
Untuk sebagian, Pemkot Banjar telah memberi perhatian atas sektor ini. Salah satu perhatian itu diwujudkan Pemkot Banjar dengan menggelontorkan dana sebesar Rp. 400 juta yang didapat dari dana hibah Kementerian Koperasi dan UKM untuk membangun kawasan wisata kuliner di Jalan Kantor Pos. Program ini bertujuan menata PKL, menyerap tenaga kerja baru, sekaligus meningkatkan PAD.
Namun program itu tak bertahan lama. Beberapa hari setelah dibuka secara resmi oleh Walikota Banjar pada 15 Januari 2011, jumlah pelaku usaha yang awalnya 45 orang, menyusut dengan cepat.
Tempat yang tidak strategis, fasilitas pendukung yang kurang, promosi yang minim, pengelola yang tidak profesional, waktu usaha yang sempit (hanya dapat berjualan di malam hari) dituding menjadi biang kerok minimnya jumlah pengunjung dan bermuara pada kegagalan program tersebut.
Kehendak politik Pemkot Banjar dalam menata sektor informal melalui program itu patut diacungi jempol. Namun kehendak politik saja tidak cukup. Hal penting yang absen dalam program itu adalah pelibatan langsung dan intensif seluruh pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan.
Tentang hal ini kita bisa belajar dari Walikota Surakarta dalam menata sektor informal. Pada 2005, ia menata 989 PKL di daerah Banjarsari dengan cara unik. Ia melakukan 54 kali makan malam untuk membangun komunikasi intensif dengan seluruh PKL.
PKL meminta jaminan walikota agar mereka tidak kehilangan pembeli. Walikota lalu mempromosikan Pasar Klitikan pasar sementara yang khusus dibangun sebelum relokasi selama empat bulan di televisi dan media cetak lokal. Pemkot juga memperlebar jalan dan membuat satu trayek angkutan kota ke arah sana (Majalah Tempo 2008).
Dalam penyerapan aspirasi intensif selama 54 kali itu, PKL juga meminta kios diberikan gratis. Atas persetujuan DPRD, permintaan itu pun dikabulkan dengan kompensasi PKL membayar retribusi sebesar Rp 2.600 perhari. Alhasil, penataan itu pun berlangsung lancar diiringi senyum para PKL. Hingga 2008 Pemkot Surakarta telah menata 52 persen dari 5.718 PKL (Ibid).
Penataan PKL sebagai wujud utama sektor informal tak sia-sia. Di Surakarta, PKL menjadi penyumbang terbesar PAD. Pada 1998, nilai pajak dan retribusi dari sektor itu mencapai Rp 14,2 miliar, jauh melampaui pajak dan restribusi hotel yang mencapai Rp. 4 miliar atau terminal yang hanya Rp 3 miliar (Ibid).
Menurut Walikota Surakarta, penataan PKL di Surakarta sukses karena PKL âdiwongkeâ, dimanusiakan. Ya, “diwongke” adalah istilah yang menunjuk pada bagaimana semua pemangku berkepentingan dilibatkan secara langsung dan intensif dalam perumusan kebijakan. Pelibatan langsung penting dilakukan untuk menghindari problem representasi yang terjadi jika perumusan kebijakan hanya melibatkan perwakilan (elit PKL) dan elit birokrasi.
Dalam beberapa hal, apa yang dilakukan Pemkot Surakarta direplikasi Pemkot Banjar dalam pembangunan wisata kuliner. Program itu disusun Bappeda melalui sebuah Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk mendirikan wisata kuliner di jalan BKR sepanjang 600 meter. Program itu diharapkan menata PKL, menciptakan lapangan kerja, sekaligus meningkatkan PAD.
Namun sejauh mana perumusan kebijakan itu melibatkan secara langsung dan intensif semua PKL, tidak terkesan instan, dan elitis, masih menjadi pertanyaan. Perumusan kebijakan yang hanya melibatkan unsur perwakilan dapat mengurangi bobot dan kualitas representasi.
Tanpa “ngewongke” dan “ngajak ngobrol” seluruh pemangku kepentingan, kebijakan pemerintah hanya akan menjadi elite crafting yang rapuh dan tidak berkelanjutan. Keterlibatan langsung dan intensif para pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakan pemerintah menjadi basis sosial yang penting untuk menopang dan mengukuhkan suatu kebijakan. Jika Surakarta bisa, mengapa Banjar tidak?.
Asep Mulyana. Tim Litbang Harapan Rakyat