Ciamis, (harapanrakyat.com),- Persoalan sengketa tanah di kawasan hutan Cisaladah di Desa Cikalong Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis semakin melebar. Hal itu setelah diketahui bahwa pada salinan BATB tahun 1937 tentang proses verbal kawasan hutan Cisaladah disebutkan kawasan tersebut merupakan hutan asli yang harus dipertahankan, sehingga kalimat itu ditafsirkan sebagai kawasan hutan konservasi.
Dengan adanya temuan baru tersebut, kini muncul spekulasi bahwa disinyalir telah terjadi alihfungsi hutan yang dilakukan oleh Perhutani tanpa menempuh prosedur dan mekanisme aturan yang jelas. Dengan kata lain Perhutani diduga telah menabrak aturan perundang-undangan saat mengklaim kawasan hutan Cisaladah.
Ketua Kelompok Keahlian Sains dan Rekayasa Hidrografi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Dr. Ir. Widyo Nugroho Suladi, mengatakan, sebenarnya pihaknya bermaksud melakukan pengkajian soal sengketa tanah antara Perhutani dengan masyarakat di kawasan hutan Cisaladah di persil 159 dan persil 169.
“Saya diminta oleh DPRD Ciamis sebagai tim ahli Pansus DPRD dalam penyelesaian sengketa tanah di Cisaladah. Setelah kita melakukan kajian secara konferhensif, ternyata ditemukan persoalan baru, yakni pada salinan BATB 1937 disebutkan bahwa kawasan itu merupakan hutan asli yang harus dipertahankan,” katanya ketika dihubungi HR, Senin (23/5).
Menurut Widyo, istilah hutan asli yang harus dipertahankan jelas mengandung arti kawasan konservasi. Karena arti wildhoutbossen (bahasa belanda) jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia, artinya hutan liar. Jika ditafsirkan ke dalam terminologi yang berkaitan dengan hutan dapat disimpulkan bahwa itu mengandung maksud hutan konservasi.
“Kalau berbicara soal karakteristik dan ciri hutan Cisaladah saat ini memang tidak menunjukan hutan konservasi. Karena karakteristiknya tidak memiliki ciri khusus tertentu jika ditinjau dari kondisi kekinian. Tetapi, BATB kan dibuatnya pada tahun 1937 yang sudah berpuluh-puluh tahun. Yang jelas, makna dari hutan asli yang harus dipertahankan dipastikan memiliki filosofis tertentu terkait pelestarian ekosistem di kawasan hutan tersebut,” terangnya.
Widyo juga mengungkapkan awal persoalan yang menjadi perhatian pihaknya sehingga masalah sengketa tanah melebar ke persoalan alihfungsi hutan, ketika Perhutani terus berlindung kepada BATB tahun 1937 dan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan nomor 195 tahun 2003 dalam menguasai kawasan hutan tersebut.
“Ternyata, dasar hukum dan pijakan Perhutani dalam menguasai hutan Cisaladah sudah salah kaprah. Pantas saja ketika kita meminta salinan BATB tahun 1937 tidak diberi oleh Perhutani dengan alasan dokumen rahasia negara. Padahal, dokumen itu bukan rahasia negara, karena bukan dokumen pertahanan negara. Untung saja kita dapat dari Badan Vulkanologi Bogor,” katanya.
Sementara dasar hukum SK Menteri Kehutanan nomor 195 tahun 2003, tegas Widyo, bukan mengatur soal penetapan hutan, melainkan SK itu hanya mengatur soal penunjukan kawasan hutan. “Coba lihat UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 15, apa benar pengukuhan untuk menguasai pengelolaan hutan hanya berpijak pada SK Menhut tentang penunjukan kawasan hutan,” tanya dia.
Menurut Widyo, pada pasal 15 yang mengatur prosedur dan mekanisme pengukuhan kawasan hutan harus melalui empat tahap, yakni penunjukan kawasan hutan, penataan kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.
Dalam penunjukan kawasan, terang Widyo, mengatur soal status, keadaan, letak, batas dan luas areal yang akan ditunjuk. Sementara tahap dua pada penataan kawasan hutan mengatur soal kawasan hutan yang telah ditunjuk, bebas dari hak-hak pihak ketiga, memperoleh pengakuan para pihak (masyarakat, badan hukum, pemerintah) dan dibentuk panitia Tata Batas areal yang ditata sebagai kawasan hutan.
“Pada tahap kedua ini disyaratkan tidak boleh adanya sengketa tanah di kawasan yang dimaksud. Selain itu harus adanya persetujuan dari Pemkab dan DPRD setempat. Yang kita tanyakan soal Cisaladah, apakah ada sengketa di kawasan ini? Dan apakah sudah ada persetujuan dari Pemkab dan DPRD?,” ungkapnya.
Sementara pada tahap ketiga untuk proses pemetaan hutan, lanjut Widyo, dalam pemetaan kawasan hutan harus berbentuk peta menurut BATB kawasan hutan.
“Peta dan isi salinan dari BATB juga harus menjadi rujukan. Yang kita tanyakan, apakah BATB 1937 menyebut bahwa hutan Cisaladah untuk hutan produksi? Jika menoleh kepada sejarah bahwa kolonial Belanda tidak berkepentingan terhadap kayu hasil hutan, karena mereka pada saat itu hanya mengeruk rempah-rempah dari negara kita. Jadi sangat jelas kolonial Belanda tidak menetapkan Cisaladah sebagai hutan produksi,” tegasnya.
Tahap keempat, kata Widyo, baru dilakukan penetapan oleh Menteri Kehutanan setelah seluruh syarat pada tahap satu sampai tiga sudah terpenuhi.
“Jadi jelas kan, kawasan Cisaladah belum memiliki pengukuhan bahwa kawasan itu ditetapkan sebagai hutan produksi. Jadi wajar jika kita mempertanyakan dasar hukum Perhutani mengklaim hutan Cisaladah. Karena Perhutani telah menabrak UU nomor 41 tentang Kehutanan mengenai pengukuhan kawasan hutan,” ungkapnya.
Ketua DPRD Kab. Ciamis, H. Asep Roni, mengatakan, selain menyelesaikan persoalan Cisaladah yang cara penyelesaiannya berdasarkan aturan hukum yang berlaku, perlu juga semua pihak menyelesaikan persoalan ini secara jujur demi mengedepankan kepentingan masyarakat.
“Kita kan semua punya hati. Mari hati kita semua berkata jujur sudah sejauhmana yang kita perbuat dalam keberpihakan kepada masyarakat dan lingkungan? Saya kira semua pihak perlu menggunakan hati dalam penyelesaian masalah ini,” katanya, ketika dihubungi HR via telepon selulernya, Selasa (24/5).
Asep juga menyayangkan adanya prosedur dan mekanisme yang tersirat dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dikesampingkan dalam proses pengukuhan kawasan hutan Cisaladah menjadi hutan produksi.
Asep menambahkan seharusnya tidak boleh ketika ada sebuah regulasi yang harus ditindaklanjuti ditabrak dan ditelan mentah-mentah tanpa berpikir mengenai dampak negatif terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat dan ekosistem di kawasan hutan tersebut.
“Apa hanya karena ada sesuatu yang menguntungkan dihadapan kita, langsung saja dilaksanakan tanpa harus berpijak pada aturan hukum dan tanpa berpikir mengenai dampak terhadap masyarakat dan lingkungan di kawasan hutan tersebut,” katanya.
Sementara itu, Kaur Humas dan Agaria KPH Perhutani Ciamis, Andrie Harimawan, mengatakan, pihaknya tidak akan mengomentari soal adanya tudingan bahwa telah terjadi alihfungsi hutan di kawasan Cisaladah yang diduga tidak menempuh prosedur dan mekanisme hukum yang berlaku.
“Perhutani sudah mengambil sikap, tidak akan memberikan komentar ataupun sanggahan terkait pemberitaan ini,” ujarnys singkat, ketika dihubungi HR via telepon selulernya, Selasa (24/5).
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Planologi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Ciamis, Ir. Sudarmanto, M.Si, mengatakan, kawasan hutan yang sudah ada BATB-nya dan juga tercantum dalam SK Menhut tentang penunjukan kawasan hutan, kuat secara hukum untuk langsung dilakukan pengelolaan. Karena soal SK penetapan merupakan urusan pemerintah pusat.
“Biar lebih jelas, coba anda konfirmasi ke Dinas Kehutanan Provinsi dan Kementrian Kehutanan, biar skala pembicaraannya lebih keren. Jangan hanya level kabupaten ngomongnya. Karena kawasan hutan terkait dengan instansi vertikal,” katanya yang dihubungi HR via pesan singkat, Selasa (24/5).
“Begini saja, karena itu SK Menhut, lebih cocok anda tanya ke Kementrian Kehutanan kenapa SK itu tidak pake persetujuan Pemkab dan DPRD? Susah saya menjelaskannya, no comment,” jawabnya, ketika ditanya apakah sudah ada persetujuan Pemkab dan DPRD Ciamis terkait pengukuhan kawasan hutan Cisaladah yang kini dijadikan kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani.
Ditemui sebelumnya, Jum’at (20/5), Sudarmanto membantah bahwa kawasan hutan Cisaladah merupakan kawasan konservasi. Menurutnya, penafsiran kalimat dari hutan asli yang harus dipertahankan sebagaimana tersirat dalam BATB (Berita Acara Tapal Batas) tahun 1937 tentang Kawasan Hutan Cisaladah, tidak berarti menjelaskan bahwa hutan Cisaladah merupakan hutan konservasi.
“Hutan asli yang harus dipertahankan hanya sebatas mengandung makna bahwa kawasan itu harus selamanya dikelola menjadi kawasan hutan, dan tidak boleh dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan atau lahan pertanian. Mengenai penetapan status hutan tersebut ditetapkan sebagai hutan produksi atau hutan konservasi, tergantung dari hasil kajian Tata Guna Hutan yang ditetapkan melalui surat Menteri Kehutanan,” ujarnya kepada HR, pekan lalu.
Sudarmanto menjelaskan, pada surat keputusan Menteri Kehutanan nomor 195 tahun 2003 bahwa kawasan hutan Cisaladah sudah ditetapkan menjadi hutan produksi. Sementara hutan di Kabupaten Ciamis yang ditetapkan sebagai hutan konservasi hanya Gunung Syawal dan kawasan Cagar Alam Pangandaran.
Dia menambahkan, jika dilihat dari karakteristik hutan Cisaladah, tidak menunjukan kawasan tersebut merupakan hutan konservasi. Karena menurut definsi bahwa ciri dan karakteristik hutan konservasi harus memiliki ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
“Sekarang saya balik bertanya, apakah di kawasan hutan Cisaladah ada tumbuhan dan satwa langka? Seperti hal-nya yang saat ini masih ada di kawasan hutan Gunung Syawal. Tidak ada kan? Dari karakteristik hutannya juga sudah bisa dijawab bahwa Cisaladah bukan hutan konservasi,” terangnya.
Menurut Sudarmanto, istilah hutan asli yang tersirat dalam BATB 1937 sebenarnya sudah tidak relevan lagi apabila dikaji dengan kondisi saat ini. Pasalnya, pengertian hutan asli menurut BATB 1937, dikaji berdasarkan kondisi pada saat itu.
“Kalau berbicara tahun 1937, pastinya hampir semua kawasan hutan merupakan hutan asli. Karena pada saat itu kawasan paling luas di pulau Jawa masih dominan kawasan hutan. Sebab jumlah penduduknya pun belum banyak, tidak seperti sekarang. Nah, seiring naiknya jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang berdampak terhadap kebutuhan hidup manusia, luas kawasan hutan pun menjadi menyusut,” terangnya.
Namun begitu, lanjut Sudarmanto, guna menjaga kelestarian beberapa hutan yang perlu dijaga ekosistemnya, Menteri Kehutanan menetapkan krateria hutan berdasarkan ciri dan karakteristik masing-masing hutan yang dikaji melalui Tata Guna Hutan.
“Seperti contoh, Gunung Syawal yang karakteristik hutannya memiliki ciri khas karena masih terdapat tumbuhan dan satwa langka di kawasan itu, maka ditetapkan sebagai hutan konservasi. Sedangkan Hutan Cisaladah yang karekteristik hutannya memiliki kandungan tanah kapur, maka ditetapkan sebagai hutan produksi. Sebab kandungan tanah kapur sangat cocok ditanami kayu Jati yang berkualitas tinggi,” terangnya.
Sudarmanto juga menegaskan, jika ada perbedaan pandangan soal penafsiran BATB 1937 yang berujung perdebatan mengenai fungsi hutan Cisaladah yang sebenarnya, maka sebaiknya harus diselesaikan secara hukum.
“Biar gak jadi debat kusir, sudah saja ajukan masalah ini ke Pengadilan. Biarkan bukti hukum yang berbicara. Karena jika berdebat hanya ditataran politis, sudah dipastikan tidak akan ada ujung pangkalnya. Sebab, kajian Pansus DPRD paling banter hanya akan menghasilkan rekomendasi,” ujarnya.
Selain itu, kata Sudarmanto, dalam persidangannya, perlu juga dihadirkan ahli kehutanan dari Fakultas Kehutanan IPB (Institut Pertanian Bogor) atau Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta guna memberikan kajian melalui aspek keilmuan kehutanan.
“Jadi, tidak hanya dari tim ahli ITB saja, tetapi perlu juga dihadirkan tim ahli yang spesifik di bidang kehutanan. Jika begitu, saya yakin perdebatan soal Cisaladah ini akan segera ditemukan kebenaran yang sesungguhnya,” pungkasnya. (Subagja Hamara)