Selain kepala daerah bersama jajaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD), DPRD juga merupakan salah satu unsur dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Dengan berbasiskan pada otonomi daerah, maka penyelenggaraan pemerintah daerah didorong melakukan percepatan pencapaian kesejahteraan rakyat, peningkatan daya saing daerah, dan peningkatan pelayanan publik.
Anggota DPRD Kota Banjar, Hj. Yeyet, mengatakan, pelayanan publik yang murah, cepat, dengan hasil berkualitas tinggi, merupakan dambaan masyarakat.
Misalnya pengurusan KTP gratis, perizinan cepat dan murah, serta pelayanan kesehatan terjangkau penduduk miskin. Semua itu menjadi tolok ukur, apakah otonomi sudah menyentuh lapisan masyarakat banyak atau belum.
Untuk mendorong peningkatan pelayanan publik, anggota DPRD mempunyai peran, tugas dan fungsi sangat besar. Kewenangan yang dimiliki mampu mendorong eksekutif untuk bertindak lebih cepat dalam penyediaan layanan publik.
“Pada pelayanan publik, penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom. Urusan pemerintah pusat termasuk dalam urusan absolut, yang meliputi politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter, yustisi dan agama,” katanya, Selasa (15/3).
Sedangkan, yang menjadi urusan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota (concurrent), terdiri dari urusan wajib (obligatory) dan urusan pilihan (optional).
Urusan wajib berkaitan dengan pemberian pelayanan dasar, seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, dan prasarana lingkungan dasar. Sementara urusan pilihan terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Dikatakan Yeyet, pembagian urusan pemerintahan tersebut, maka esensi dari otonomi daerah adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat, yaitu pelayanan dasar (kebutuhan pokok) dan pelayanan pengembangan sektor unggulan.
Bertitik tolak dari hal itu, maka diperlukan suatu Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam memberikan pelayanan dasar dan pelayanan pengembangan sektor unggulan.
Konsep pelayanan publik dalam kerangka sistem pemerintahan daerah, didasarkan atas hubungan timbal balik saling menguntungkan. Tidak hanya mengakomodasi kepentingan pemerintah daerah, namun juga mengedepankan kepentingan publik.
“Hal yang harus kita jaga adalah, bagaimana agar pelayanan publik dilakukan secara adil dan non diskriminatif. Memang dalam pratik masih sering dijumpai adanya ketimpangan. Jadi, pelayanan publik yang dilakukan masih bersifat pilih kasih,” jelas Yeyet.
Karena, pelayanan publik yang baik dilakukan dalam hubungan yang setara (equel), antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani. Pola pikir ini mengarahkan konsep pelayanan publik kepada pemberdayaan masyarakat di semua lini kehidupan.
Namun, realita di lapangan birokrasi daerah, konsep publik service adalah konsep yang bersifat counter-productive. Artinya, secara sistematik birokrasi telah memiliki mekanisme tersendiri melayani publik, tetapi sistem pelayanan yang selalu dikedepankan tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan publik secara kolektif.
Untuk mengantisipasi hal itu, maka diperlukan pola baru pelayanan dengan suatu sistem monitoring, dan evaluasi pelayanan publik yang sebenar-benarnya. Apakah bentuk pelayanan publik yang dilakukan itu bermanfaat, dapat diteruskan, atau ditinjau lagi pelaksanaannya.
Kemudian, apakah publik service bersifat equal, setara dalam kedudukan pelayanan publik dengan publik yang dilayani.
Dan tahap selanjutnya, apakah tersedia SDM yang dapat diandalkan pada unit pelaksana birokrasi di daerah, untuk membentuk tim yang kapabel dalam melaksanakan proses pengamatan komprehensif di lapangan.
“Untuk menciptakan pelayanan tersebut, anggota DPRD harus berkiprah bersama eksekutif, yaitu dengan mengedepankan prinsip-prinsip etika pemerintahan, dan tata kelola pemerintahan yang baik,” kata Yeyet.
Lebih lanjut Yeyet mengatakan, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah merubah cara pandang pribadi anggota DPRD. Dari seorang taylor policy (penjahit kebijakan), menjadi designer policy (perancang kebijakan).
Dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, anggota DPRD dituntut harus mampu memetakan kebutuhan pelayanan dasar masyarakat, dan pelayanan lainnya yang memang dibutuhkan masyarakat.
Implementasi dari paradigma anggota DPRD sebagai perancang kebijakan adalah, mampu membuat Perda berorientasi pada peningkatan publik, memberikan persetujuan anggaran APBD yang mendorong pada peningkatan pelayanan publik secara konsisten.
“Selain itu, anggota DPRD juga harus tegas dan jujur mengawasai pelaksanaan pelayanan publik di daerahnya. Apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau malah terjadi penyimpangan,” tandasnya.
Yeyet menambahakan, peran DPRD untuk mendorong peningkatan pelayanan publik tersebut, justru dimulai dari diri anggota DPRD itu sendiri, yaitu melalui metamorphosis dari penjahit kebijakan menjadi perancang kebijakan. (Eva)