Meski dianggap murahan, namun jenis komoditi seperti pisang siem dapat diolah menjadi kripik pisang asak (kripas) yang bernilai jual tinggi.
Pisang siem atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan pisang tahlil dan pisang hansip, selama ini dipandang sebagai jenis pisang murahan karena tidak mempunyai daya jual tinggi.
Namun tidak demikian bagi Herma Ayu Febriani, pengrajin kripik pisang asak (kripas), warga Lingkungan Langkaplancar, Kelurahan Bojongkantong, Kecamatan Langensari, Kota Banjar.
Bagi Herma, jenis pisang siem justru bisa menghasilkan keuntungan yang cukup lumayan. Terbukti, sampai saat ini kripik pisang siem hasil olahannya mampu dipasarkan keluar daerah, diantaranya Ciamis, Bandung dan Jakarta.
Menurut dia, bahan baku untuk membuat kripas harus menggunakan pisang siem pilihan yang sudah matang. Sehingga, rasa kripik tersebut terjaga keasliannya, yaitu rasa manis khas pisang siem.
Herma mengaku, usahanya itu telah dijalaninya sejak tahun 2007 silam. Hingga kini dirinya sudah bisa mempekerjakan dua orang tetangganya.
“Untuk produksinya dilakukan setiap hari. Tapi memang belum bisa memproduksi banyak karena terkendala masalah peralatan. Saat ini kita masih mengerjakannya secara manual,” katanya.
Selain itu, untuk mencari jenis pisang siem pilihan masih cukup sulit. Dalam satu hari hanya mampu memproduksi kripas minimal 20 kilo, maksimal 50 kilo, tergantung bahan baku.
Herma membeli bahan baku tersebut dari para petani pisang yang ada di wilayah Langensari. Sebab, rasa pisang siemnya lebih manis bila dibandingkan dengan pisang siem yang dibeli dari luar daerah, seperti Cilacap atau Banjarsari.
Lebih lanjut dia menuturkan, sebetulnya di wilayah Langensari ada sekitar 20 home industry yang memproduksi kripas. Namun, rasa kripik yang dihasilkan tidak semanis kripas produksinya, karena bahan baku yang gunakan bukan pisang siem matang. Dan untuk mengahasilkan rasa manis, mereka menggunakan pemanis buatan.
Jika saja hasil produksi kripas dari 20 home indutry disatukan, atau ditampung di salah satu pengusaha kripas untuk dipasarkan, bukan tidak mungkin jenis makanan tersebut bisa dengan mudah dicari konsumen di pasaran.
Sedangkan, mengenai pemasaran kripas hasil produksi Herma sendiri, untuk wilayah Kota Banjar baru masuk ke salah satu toko di Jl. Pegadaian, yang khusus menjual jajanan/makanan olahan hasil produksi UKM.
“Kalau ke toko-toko kue yang lain memang belum, tapi bukan berarti saya tidak berusaha menawarkan. Cuma, kendalanya itu mereka meminta sistim konsinyasi, jadi menyimpan barang dulu, dan pembayarannya baru dilakukan nanti setelah barang laku, sementara modal yang saya miliki masih terbatas. Jadi saya belum siap kalau sistimnya seperti itu,” katanya.
Herma mengatakan, harga kripas yang dijual di luar daerah biasanya lebih mahal, dan penjualannya pun per-bal. Satu bal berisi 5 kilo gram. Harga per 5 kilonya mencapai Rp110 ribu.
Kalau untuk pemasaran di dalam kota, kripas yang dijual tersedia dalam dua kemasan, yaitu kemasan plastik ukuran kecil dan besar. Kemasan ukuran kecil dibandrol seharga Rp7.000, dan kemasan besar Rp14.000.
Rencana kedepan, Herma berkeinginan memiliki tempat yang akan dijadikan sentra penjualan kripas. Namun tempat tersebut didirikan di luar kota, misalnya Bogor. Tujuannya tentu untuk mempromosikan bahwa jenis makanan tersebut merupakan makanan khas Kota Banjar.