Keberadaan Pasar dan Terminal Banjar merupakan dua tempat yang selama ini dijadikan penopang hidup sebagian besar masyarakat Kota Banjar. Perputaran uang di dua tempat tersebut tentunya diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk di kawasan terminal, terdapat banyak sejumlah pedagang asongan, warung nasi, pengamen, tukang ojeg, sopir dan lainnya yang selama ini hidup dari menggantungkan jumlah pendatang atau penumpang.
Mereka bisa membawa uang yang cukup besar ketika mereka pulang ke rumah, seandainya kawasan terminal ramai diserbu oleh para penumpang. Seperti ketika liburan, hari raya idul fitri, dan hari-hari besar lainnya.
Namun keadaan itu berbalik ketika jumlah penumpang di terminal Kota Banjar menyusut dan sepi. Para pedagang warung nasi, pedagang asongan dan yang penjual jasa lainnya menjadi gigit jari, karena jumlah pendapatan mereka tidak sebanding dengan biaya yang sudah mereka keluarkan.
Keadaan seperti itu kerap menjadi sebuah keluhan bagi mereka. Pasalnya, jumlah pengeluaran untuk kebutuhan hidup mereka tetap harus ada, di saat terminal sedang sepi ataupun sedang ramai.
Ditambah lagi, mereka juga dihadapkan dengan harga-harga kebutuhan pokok di pasaran yang dianggap sebagai sebuah keadaan yang menyulitkan. Tapi kehidupan tetap harus dijalani, karena hal itu sudah takdir dari sang ilahi.
Seorang pedagang asongan, Dedi, ketika ditemui HR, Selasa (15/2), mengungkapkan kesulitannya dalam mencari penghidupan di terminal banjar selama ini. Dia beralasan, selama puluhan tahun menjadi pedagang asongan, dia kesulitan untuk merubah keadaan perekonomian keluarganya.
“Kalau lagi untung, paling banyak saya mendapat uang 25 sampai 40 ribu. Tapi kalau keadaannya sedang sepi penumpang, saya jarang mendapatkan uang untuk dibawa pulang ke rumah,” ungkapnya.
Meski begitu, diakui Dedi, dirinya dan keluarga harus tetap makan, meski terpaksa ngutang sana-sini. Dedi juga menjelaskan, dirinya sempat memiliki tunggakan ke sebuah toko barang dagangan asongannya yang mencapai hampir Rp. 2 juta.
“Ya mau bagaimana lagi, keadaan memaksa saya untuk menghadapi situasi seperti ini. Mau tidak mau saya harus menjalaninya,” ungkapnya.
Keadaan serupa juga terjadi di pasar Banjar, apalagi di tempat ini terdapat banyak karakter dan latarbelakang pedagang yang tidak sama. Permasalahan warga pasar lebih komplek dibanding dengan keadaan di terminal.
Hal itu jelas berbeda, karena secara kuantitas (jumlah), pasar Banjar memiliki banyak penghuninya dibandingkan dengan jumlah penghuni di terminal.
Diantara para pedagang juga banyak mengeluhkan keadaan yang sepi dan hasil yang kurang sesuai dengan harapan. Namun dibalik itu, mereka juga terkadang sulit untuk menyampaikan bahwa sebenarnya mereka sudah mendapatkan keuntungan yang lumayan dari hasil mereka jualan.
Salah seorang warga pasar, Hilmi, ketika ditemui HR, Selasa mengungkapkan keadaan yang dirasakannya itu. Menurut Hilmi, penghasilan sehari-harinya tidak dapat dipastikan.
Alasannya, apa yang didapatnya tergantung dengan jumlah konsumen yang datang dan mau membeli barang kebutuhan mereka. Kalau keadaan sedang ramai, Hilmi mengaku bisa mengantongi uang lebih. Sementara jika sedang sepi, uang yang didapatnya pun tidak begitu banyak.
“Namanya juga rejeki, Tuhan yang sudah mengaturnya, tinggal bagaimana kita berupaya dan mensyukurinya saja,” ungkapnya.