Penambang batu tradisional masih tetap bertahan meski hasil yang didapat tidak sebanding dengan resiko, waktu, dan tenaga yang dikeluarkan.
Peluh yang membasahi sekujur tubuhnya tidak menghalangi Lili (40), warga Desa Batulawang, Kec. Pataruman, untuk terus melanjutkan aktifitasnya sebagai penambang batu tradisional.
Badannya terlihat merayap saat Lili memanjat bongkahan batu yang menjulang tinggi dan curam, hal itu dilakukan untuk memilah bagian batu yang akan dipecah.
Dirinya tidak menghiraukan resiko yang dihadapinya, padahal jika cengkraman tangannya tidak kuat, atau pijakan kakinya terpeleset, bukan mustahil nyawa sebagai taruhannya.
Lili mengaku, dirinya telah menggeluti usaha penambangan batu sejak sepuluh tahun silam. Hingga kini, pekerjaan tersebut masih setia digelutinya walaupun pendapatan dari hasil penjualan batu tidak sebanding dengan resiko, waktu dan tenaga yang dia dikeluarkan.
Dengan bermodalkan uang sebesar Rp 2 juta, saat itu Lili nekad membeli gunung batu yang ada di daerahnya, karena dia yakin kalau gunung tersebut mampu menghasilkan batu sebanyak 300 kubik.
“Tapi nyatanya, kalau dihitung keuntungan jujur saja tidak banyak, apalagi dibandingkan dengan tenaga yang dikeluarkan, tentu tidak seimbang. Namun apa daya, kemampuan saya hanya ini, cukup untuk menyambung hidup keluarga sehari-hari,” ungkapnya, Selasa (22/2).
Diakui Lili, penghasilan yang didapat dalam satu hari tidak menentu. Maklum saja, penambangan batu dilakukannya masih secara manual, yaitu hanya dengan menggunakan alat berupa linggis dan martil.
“Penghasilan yang saya dapat tentunya sesuai dengan kemampuan saya memecah batu. Bahkan kadang kala dalam satu hari saya tidak mendapatkan uang, karena tidak ada pembeli,” tuturnya.
Berbeda bila dia menerima order pesanan banyak, Lili mampu mempekerjakan dua orang tetangganya untuk membantu membelah batu. Upah yang diberikannya pun cukup besar, yaitu Rp 40 ribu per hari.
Biasanya, satu orang pekerja mampu menghasilkan batu sebanyak 1,5 kubik per hari, tergantung kondisi tebing batu yang akan dipecah. Jika cuacanya kurang mendukung, hujan misalnya, tentu hal itu akan lebih menyulitkan para penambang.
“Pekerjaan seperti ini terhitung gampang-gampang susah lantaran memiliki resiko yang cukup tinggi. Kalau lagi mujur, saya dan dua pekerja bisa menghasilkan lima kubik batu sertiap hari,” tuturnya.
Lili mengaku, batu hasil tambangnya dijual seharga Rp 50 ribu per kubik. Namun, ada kalanya bila pembeli yang datang masih kerabat atau langganan, harga pun bisa turun.