Berawal dari keisengan, limbah kain handuk mampu dijadikan barang bernilai ekonomis tinggi yaitu lap tangan. Peluang usaha ini, kini digeluti seorang sarjana ekonomi yang ingin berwiraswasta.
Pajar Martha
Dengan berbekal modal awal sebesar Rp500 ribu, Enung Sumiati, SE., mulai mengawali usahanya mengubah limbah kain handuk menjadi lap tangan. Modal tersebut didapatnya dari hasil menabung selama dirinya bekerja.
Menurut Enung, pada awalnya salah seorang temannya menawari peluang usaha untuk menjual handuk BS. Namun, dia berfikir jika limbah ini dijadikan barang yang lain tentu akan mempunyai nilai jual lebih.
Sejak itu dia pun mulai menjalankan usaha tersebut, dan hasil produksinya itu kini Enung telah mampu menjual lap tangan ke Tasimalaya dan Ciamis sebanyak 12 kodi setiap minggu.
Biasanya pengambilan barang dilakukan langsung oleh pembeli ke tempat Enung selama tiga hari sekali sebanyak 120 buah, dengan hitungan 1 kodi berisi 20 buah lap.
“Saya membeli limbah kain handuk sebagai bahan bakunya dari Bandung seharga 25 ribu rupiah per kilo, itu sudah termasuk ongkos kirim. Untuk 6 kodi saya memerlukan bahan baku sebanyak 10 kilo, berarti modal yang saya keluarkan sebesar 250 ribu rupiah,” tuturnya, saat ditemui HR, Senin (15/11).
Sedangkan, untuk pembelian bahan tambahan sebanyak 6 kodi diperlukan modal sebesar Rp 48.000, karena harga per kodinya Rp8.000. Bahan tambahan tersebut berupa benang, aksesoris dan bahan lainnya.
Kemudian, biaya produksi yang dibutuhkan sebesar Rp500 untuk pembuatan satu buah lap. Jadi, jika dihitung per kodi Enung mengeluarkan biaya sebesar Rp10.000.
“Dalam melakukan produksi, saat ini saya baru memiliki dua orang pekerja yang dibayar dengan sistim borongan. Untuk pengerjaan satu buah lap, saya beri upah sebesar 500 ratus rupiah. Sehingga, kalau dihitung per sekali kirim sebanyak 6 kodi, saya mengeluarkan biaya produksi sebesar 60 ribu rupiah,” terangnya.
Barang yang dijualnya ada dua klasifikasi harga, kelas super dan biasa. Untuk kelas super dijual seharga Rp130.000 per kodi, sedangkan kelas biasa Rp70.000 per kodinya.
“Tidak semua orang mampu membeli barang yang bagus atau mahal, makanya saya juga menjual dengan harga yang terjangkau, dalam sekali penjualan itu 3 kodi super dan 3 kodi biasa,” katanya.
Enung mengaku, dirinya masih kesulitan untuk mengembangkan usaha yang tengah dia jalani, lantaran dari segi permodalan masih terbatas. Hal tersebut membuat dia belum berani untuk mengembangkan pasar lebih luas.
Alasannya takut mengecewakan konsumen, sebab jika pesanan banyak tetapi dia tidak bisa memenuhinya, tentu konsumen akan merasa kecewa. Bahkan, untuk saat ini saja dirinya masih keteteran dalam permodalan untuk pembelian bahan baku dan biaya produksi.
“Untung saja yang beli saat ini masih kes, kalau saya mau bermain skala lebih besar tentunya saya harus memiliki modal lebih. Dengan modal 500 ribu rupiah tidak cukup untuk memproduksi barang sebanyak 12 kodi,” pungkasnya. ***